Pemilu. Pemilu bukan uji nyali atau ajang judi. Memilih wakil rakyat musti menggunakan hati, meskipun terkadang warna gambar dan gelar di kertas suara menggoda untuk dicinta.
Riuh redam ajang pemilu lima tahun sekali segera dimulai. Partai berlomba-lomba menyusun strategi. Suguhan caleg artis, caleg konglomerat, caleg keluarga, caleg mantan pesakitan, atau caleg rakyat biasa dalam serangkaian daftar mulai menawarkan janji dan program di segala lini.
Lembaran kertas suara akan terasa begitu lebar dengan daftar nama-nama yang terasa asing dan tak dikenal semakin menambah beban kerja untuk berpikir. Caleg pun ada yang bermutu dan tak bermutu, ada yang asli atau KW 1.
Begitu banyak nama, begitu banyak gelar, dan beragam gambar partai penuh warna disajikan dalam selembar kertas. Meski terkadang dianggap akan mewakili rakyat, masih banyak nama-nama yang tidak merakyat.
Begitu dalam tersembunyi, nama-nama calon tak pernah menunjukkan diri, bahkan menjadi barisan sakit hati. Menemukan mereka yang berhati perlu menggunakan hati dan pikiran sejati.
Dalam waktu dua tiga menit, tuntutan untuk menentukan pilihan harus dilakukan dengan cerdas. Memilih dan harus tetap memilih, siapapun yang pantas untuk ditusuk paku dalam bilik suara.
Terkadang dengan gambar yang dipenuhi warna-warni gambar partai, kita bisa begitu cepat mencoblos dan menentukan pilihan. Dibuka, dicari gambar partai yang menarik dan warna-warni, disanalah pilihan itu dikukuhkan.
Tidak pernah memikirkan partai apa, seperti apa rekam jejaknya, bagaimana kiprahnya di masyarakat, dan bagaimana pengelolaannya, jangan-jangan wakil partai itu pun hidup dalam jejak-jejak korupsi.
Begitu dalam tersembunyi, nama-nama calon tak pernah menunjukkan diri, bahkan menjadi barisan sakit hati. Menemukan mereka yang berhati perlu menggunakan hati dan pikiran sejati.