Perempuan. Ketika demokrasi digaungkan, keragaman seharusnya menjadi muara sebuah perjuangan. Harapan akan keberagaman seharusnya selalu ditumbuhkan agar tidak memupus perjuangan perempuan-perempuan hebat menjadi berdaya dan perkasa.
Saat demokrasi didengungkan sebagai sarana mencapai kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, keberpihakan partai-partai politik tak ubahnya sebuah sandiwara yang selalu berujung antiklimaks.
Aturan 30 persen ketersediaan perempuan sebagai calon wakil rakyat begitu sulit terpenuhi, apalagi mendudukkan lebih banyak perempuan sebagai anggota dewan yang terhormat.
Dari jumlah anggota DPR sebanyak 575 orang pada tahun 2019-2024, hanya 120 orang diduduki perempuan. Hanya 20% perempuan dapat menduduki kursi dewan.
Menemukan perempuan-perempuan pilihan untuk duduk sebagai wakil rakyat dan wakil penduduk perempuan yang saat ini sebanyak 131 juta jiwa terasa begitu sulit dan terjepit. Demokrasi ternyata belum berpihak untuk perempuan Indonesia berkiprah membela kaumnya.
Perempuan masih dianggap lemah, tak berdaya, sensitif dengan kodrat kuat sebagai pengurus rumah tangga.
Kokohnya budaya gender yang menganggap perempuan sebagai warga kelas dua semakin tajam dengan begitu melemahnya akses perempuan dalam ranah politik.
Perempuan seolah tidak layak untuk duduk pada posisi strategis sebagai pengambil keputusan.
Diskriminasi memang masih begitu kuat terasa, dunia politik yang seharusnya menjadi gerbang demokrasi dan hadirnya penghargaan terhadap kompetensi perempuan hanya menyisakan sebuah kesenjangan yang tak terarah.
Bingkai kesetaraan dan persaingan kemampuan laki-laki dan perempuan hanya jadi misteri yang tak terpecahkan dalam masyarakat demokrasi.