Rambut. Mahkota pribadi mengusik kemarahan, memerah wajah pada sang pendidik pujaan. Merunyamkan persoalan saat segala tak terselesaikan. Seolah pendidikan hanya berakhir pada penghukuman.
Siswa selalu ditempatkan pada posisi lemah tak berdaya. Segala aturan ditegakkan, sang guru mencoba berperan, sekolah seolah menjadi sebuah institusi yang tak tergoyahkan. Saat sebuah kesalahan tak terampuni, hukuman menjadi satu-satunya cara untuk memberi pelajaran seperi zaman penjajahan. Kekerasan tak terhindarkan, terkadang peran mereka yang dianggap dewasa begitu dominan. Murid menjadi korban, dan terus bungkam.
Seolah dalam sebuah pendidikan tak boleh ada kesalahan-kesalahan. Anak dianggap begitu dewasa, tindakan bak pengadilan bukan hanya kerap terjadi tetapi tak pernah memperbaiki. Angkara murka terus merenggut mereka yang tak sanggup melawan. Murid duduk dan terus terhina dalam kesalahan yang mungkin memuakkan. Ketakutan merajalela, menggurita ke tembok-tembok sekolah dan memadamkan keinginan untuk meraih masa depan. Murid-murid begitu lemah dan semakin tak berdaya, bahkan hanya untuk membela diri di ruang kelas sekalipun.
Sekolah-sekolah telah dikotori oleh mereka yang merasa hebat dan luar biasa mencetak karakter. Keberingasan bukan hanya sekedar sebuah letupan kemarahan tetapi menjadi cara berpikir dan bertindak sang guru. Wajah-wajah lugu yang seharusnya menerima penghargaan diri, tetapi pelampiasan dendam menjadi pelampiasan ketidaksempurnaan wajah sekolah. Meski hanya satu, tetapi wajah-wajah kebaikan sebuah sekolah terlanjut hancur mengerang tak terelakkan. Seolah semua guru menjadi buta dan begitu beringas.
Ketakutan merajalela, menggurita ke tembok-tembok sekolah dan memadamkan keinginan untuk meraih masa depan. Murid-murid begitu lemah dan semakin tak berdaya, bahkan hanya untuk membela diri di ruang kelas sekalipun.
JT, guru SMP Negeri 1 Sianjur Mulamula di Samosir, Sumatera Utara, memangkas rambut delapan siswanya setengah botak. Rambut siswa dicukur gundul hanya di bagian tengah kepala. Kejadian ini membuat orangtua siswa geram. Salah satu siswa yang rambutnya dicukup berinisial JS (13). Orangtua JS, MP (41), tidak terima dengan perlakuan guru tersebut. MP nyaris mempidanakan sang guru dan berniat melapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun, setelah video siswa dibotaki itu viral, Dinas Pendidikan Kabupaten Samosir langsung bertindak dengan memanggil guru SMP tersebut. (1)
Kisah penghukuman seorang guru semakin menenggelamkan identitas sekolah yang seyogyanya menjadi ruang yang menyenangkan untuk mengembangkan kepribadian. Beragam derita dan kisah duka murid-murid masa depan lenyap atas nama kedisiplinan. Kisah pilu menghancurkan harga diri dalam mahkota pribadi terenggut sudah. Kesedihan tak berakhir, kekecewaan tak selesai, terperdaya dalam pemikiran tak hilang selamanya. Beban berat dan olok-olok membentuk perundungan pribadi yang terus menghantui diri.
Kini, bukan hanya murid yang harus terus belajar mengelola diri, guru pun harus menghidupi diri dengan segala macam kompetensi. Tidak cukup hanya berbekal ilmu, tetapi ketrampilan diri, kepribadian, dan hidup sosial yang mumpuni. Guru bukan pasukan berani mati, hidup untuk berperang melawan mereka yang tak turut dan menurut. Guru harus hadir diantara anak-anak yang begitu membutuhkan perhatian. Guru harus hadir bagi mereka yang lemah dan membutuhkan.
Guru bukan pasukan berani mati, hidup untuk berperang melawan mereka yang tak turut dan menurut. Guru harus hadir diantara anak-anak yang begitu membutuhkan perhatian.