Naik kelas. Kenaikan kelas menjadi ruang penghakiman. Apakah seorang anak bisa sanggup berkompetisi, sanggup menyesuaikan diri? Jika tidak, urutan belakang pasti menanti. Kesedihan akan meruntuhkan setiap harapan di penghujung tahun.
Pendidikan kita masih berkutat bagaimana menyusun kurikulum yang manusiawi. Dari waktu ke waktu, kurikulum pendidikan masih terus menyisakan berbagai perdebatan. Akibatnya, anak terkadang menjadi korban.
Anak-anak selalu dibawa pada sebuah ruang persaingan. Siapa saja yang tidak sanggup bersaing dan menyesuaikan harus tinggal kelas dan dianggap tak bisa berkembang. Sebuah vonis yang menyesakkan dan menyakitkan bagi setiap anak yang dianggap gagal.
Beban Kurikulum
Tidak bisa dihindari, entah itu ketuntasan minimal, aturan kenaikan, atau berbagai ulangan yang harus dijalani setiap anak dengan sekian pelajaran menyisakan banyak masalah.
Seorang anak ditempatkan sebagai objek yang harus menjalani berbagai rencana pembelajaran dari sekian jumlah guru.
Tekanan pun semakin terasa, apalagi dengan semakin banyaknya materi yang harus dikuasai. Pembelajaran menjadi sebuah panggung menguji persaingan. Siapa kalah, siap tertinggal dalam ruang kelas.
Tidak naik kelas menjadi sebuah ceremonial menunda nasib, bahkan bisa jadi menggambarkan kelemahan proses dari sebuah institusi pendidikan?
Saat itu, ada sebuah anggapan, sebuah sekolah yang dianggap baik dan hebat adalah sekolah dengan tingkat keketatan sangat tinggi, standar kenaikan yang luar biasa tinggi dan standar nilai yang tidak bisa dikalahkan oleh sekolah lain.
Yang terjadi, begitu banyak anak yang hanya bisa berkaca-kaca saat kenaikan terjadi. Sekian puluh anak harus menanggung malu dan nasib yang tidak menentu.