Sepeda tua itu hanya teronggok di depan sebuah rumah. Terlihat mulus dan cantik meski warna mulai memudar. Setiap hari sepeda itu tidak dipakai, dan terus menanti si empunya mencoba menaiki. Puluhan tahun sepeda itu terkayuh dan menemi wanita pujaan. Dua tahun lalu sepeda itu menjadi sahabat setianya. Lelaki tua itu tetap menyimpan sebagai harta istimewa.
Lelaki itu keluar, mendekatkan dirinya pada sepeda. Di tangannya, sebuah telepon pintar menyala dan merekam berbagai suasana di sekelilingnya. Perlahan menggerakkan telepon pintar, dan merekam sepeda di depan rumahnya. Dalam putaran waktu berbeda, di hadapan sepeda, ia terduduk. Telepon pintarnya jatuh, ia tetap terdiam. Dalam secuil kata yang pelan terucap, dalam doa-doa, ia tiba-tiba menyusun kata.
Sepeda tua
Menahan usia
Menyapa nasib
Padam tanpa jalan
Gulungan waktu
Mengulur senja
Menerawang
Sang pujaan
Kan datang
dalam remang
Sapamu secuil
Senyum
Sembirat duka
Ternganga melebam
Kala kita bersama
Sepeda penanda
Engkau kan hadir
Setia melalu
Menuju membela
Siapa terlena
Terbuai kekelaman
Dan berujung duka
sepeda tua
Hanya penanda
Bahwa engkau
Tiada
Sepeda tua
Terdiam
Tanpa
Kata
Seperti juga
Engkau
Abadi
Dan
Tetap saja
Abadi