Masa berpacaran pun tumbuh manusiawi sebagai salah satu proses mewujudkan keingintahuan dan kemendalaman relasi untuk saling memahami.
Status sebagai makhluk sosial mengharuskan setiap manusia tidak akan lepas dari manusia lain. Ketika menginjak remaja keinginan untuk menjalin hubungan serius pun tercipta. Laki-laki suka wanita atau sebaliknya adalah hal yang biasa.
Ketika bukan lagi dianggap sebagai anak, remaja perlu identitas diri, kemandirian, dan perlu keterikatan dengan orang lain, bahkan lawan jenis. Memahami perlu waktu, maka tidak ada target sampai kapan sebenarnya pacaran itu akan dianggap final.
Berpacaran sebenarnya merupakan sebuah proses untuk saling memahami, menggali dan mengerti kebisaan dan ketidakbiasaan orang yang kita bercaya berdasarkan rasa hati yang mendalam.
Namun, dalam dunia modern yang serba instan dengan ramuan media sosial yang begitu kuat, seolah definisi usang itu pun mulai berubah. Apalagi pemahaman orang tua pun berbeda-beda.
Ada anggapan bahwa tidak perlu pacaran untuk menjadi keluarga, tidak perlu pacaran untuk saling memahami insan berdua. Kita hanya butuh saling mengerti dan saling memahami.
Toh, banyak keluarga bahagia tanpa pacaran atau banyak keluarga berantakan meski pacaran sudah bertahun-tahun. Begitulah kira-kira pembenaran yang sering terjadi di masyarakat kita.
Meski sebenarnya inti dari pacaran adalah bagaimana kita mengerti betul kekurangan dan kelebihan orang yang kita cintai. Namun, empati dan peduli menjadi salah satu cara untuk tetap mempertahan hubungan. Apalagi jika sudah komitmen untuk berkeluarga. Rasanya keluarga bukan lagi sebagai hiburan belaka. Keluarga akan menjadi rahmat yang terbaik dari Yang Maha Kuasa.
Menjadi Orang Tua bagi Remaja
Menjadi orang tua memang dituntut untuk bersabar menghadapi anak-anak yang dalam masa pertumbuhan. Menuntun anak, terbuka kepada anak dan berdiskusi dengan anak adalah kekayaan sebagai sebuah keluarga.