Nama Gibran ramai menjadi perbincangan publik, khususnya di sosial media karena salah sebut asam folat dengan asam sulfat, pun juga karena ketidakhadirannya dalam berbagai undangan debat di kampus maupun di media. Tak pelak Gibran menjadi bahan bullyan gratis oleh publik, sebagaimana yang mudah kita temukan di berbagai platform sosial media seperti di fb dan di X.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Gibran, dan timses di belakangnya, selalu menolak untuk hadir di berbagai acara debat, dan hanya akan datang di debat resmi yang dihelat oleh KPU? Sah-sah saja para pendukung capres lain menudingnya takut dengan debat, apalagi dua kompetitornya adalah dua orang politisi kawakan, Mahfud MD dan Cak Imin yang sejak mahasiswa adalah aktivis kampus yang sudah makan asam garam dunia diskusi publik.
Namun, saya agak lain memandangnya, Gibran dan timses di belakangnya tentu sudah berhitung terkait efek dari penolakannya terhadap berbagai undangan debat selama ini.
Survei terakhir yang dirilis oleh Polstat Indonesia hari ini menunjukkan bahwa di tengah berbagai tudingan miring ataupun bullyan terhadap Gibran dan capresnya, Prabowo, ternyata elektabilitasnya tidak mengalami penurunan sama sekali. Komposisi elektabilitas pasangan Prabowo Gibran masih leading di angka 43%, kemudian pasangan Ganjar Mahfud dan Anies Cak Imin masing-masing di angka 27% dan 25%.
Bagi yang tidak percaya survei, monggo saja untuk mengatakan bahwa hasil survei itu adalah pesanan, bayaran atau apalah. Namun yang pasti sebagai bekas siswa yang pernah mendapat pelajaran ilmu statistika, maka meski tidak 100% persen percaya dengan hasil survei, namun saya berkeyakinan bahwa realita dukungan pemilih tentu tidak terlalu jauh dari berbagai hasil survei yang ada itu.
Tentu menjadi pertanyaan kenapa elektabilitas Prabowo Gibran bisa stabil dan bahkan cenderung meningkat di tengah berbagai serangan gencar di sosial media terhadap mereka, nah, ini tentu menarik untuk diobrolin.
Satu hal lain yang membuat Prabowo-Gibran lebih berwarna ketimbang dua pasangan kompetitornya adalah gaya politik yang mereka usung. Penetrasi politik mereka ke akar rumput lebih dimotori oleh kelompok anak muda. Bahkan timses mereka membentuk satu divisi khusus pemilih muda, yaitu Tim Fanta, yang salah satunya bergerak di sosial media dengan memainkan strategi politik yang ringan, santuy, tidak frontal, dan mengandalkan gimmick-gimmick jenaka yang fun.
Dengan konsep politik riang gembira, santun, dan santuy, nyatanya gaya ini kompatibel dengan selera gen Z di media sosial. Dan, platform sosial media yang dibidik oleh kubu Prabowo Gibran untuk merebut dan memenangkan suara kalangan milenial dan gen Z yang jumlahnya puluhan juta pemilih itu dari yang saya amati dari hasil mengintip berbagai platform sosial media adalah Tiktok, bukan Fb apalagi X (dulu twitter), dua platform sosial media yang banyak diisi generasi baby boomers, serta gen X.
Sebagai gambaran, data dari Tiktok menunjukkan bahwa konten yang paling laku diserbu milenial dan gen Z adalah konten yang fun, ringan dan bikin kening berkerut. Tak heran misalnya konten jingle PAN dan joget gemoy ala Prabowo begitu populer di publik efek dari Tiktok ini.
Ini adalah kejelian tim di belakang Prabowo Gibran membaca fenomena umum di kalangan milenial dan gen Z. Dua generasi ini, ketimbang membaca buku 300 halaman atau bahkan menonton tayangan review yang berdurasi di atas 10 menit, milenial dan gen Z lebih memilih untuk melihat penggalan informasi berdurasi semenit.
Tak heran juga kenapa Fb dan X isinya adalah generasi baby boomers dan gen X, yang masih mau membaca postingan-postingan panjang dan melakukan twitwar terhadap satu tema tertentu.