Lihat ke Halaman Asli

ari imogiri

warga desa

Dinasti Politik Pernah Dilarang dalam UU Pilkada

Diperbarui: 3 November 2023   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perbincangan soal dinasti politik yang sedang trending akhir-akhir ini sebenarnya tidak bisa kita pisahkan dari realita begitu banyaknya klan politik yang aktif di dunia perpolitikan negeri ini. Lihatlah di berbagai partai politik yang ada, baik partai lama maupun partai baru, begitu banyak klan politik dijumpai. Misal saja, Sang Ayah jadi dewan pembina partai, lalu anak atau menantu jadi ketua partai, keponakan jadi elit partai, atau contoh lain Sang Nenek jadi ketua partai, anak-anak dan keponakan jadi elit partai, cucunya maju nyaleg. 

Kemudian, sesungguhnya kerisauan tentang maraknya dinasti politik tersebut membuat negara pada suatu ketika pernah mengatur pembatasan terkait dengan politik dinasti, yakni dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang berbunyi sebagai berikut :

"Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Penjelasan pasal tersebut menyebutkan yang dimaksud "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" yakni tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.

Namun sayangnya, aturan indah tentang pembatasan/larangan dinasti politik yang tercantum dalam Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut kemudian dibatalkan oleh Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang dibacakan pada Rabu 8 Juli 2015 saat MK dipimpin oleh Ketua MK Arif Hidayat.

Padahal sesungguhnya jika aturan tentang pembatasan/larangan dinasti politik di Pilkada itu tetap berlaku, maka dapat dipastikan aturan larangan serupa juga bakal diterapkan pada pemilihan presiden serta juga pada pemilihan lurah desa. Dengan begitu, maka berbagai klan politik yang ada di berbagai daerah dan di partai politik tidak bisa memiliki keistimewaan melanggengkan kekuasaannya karena ada aturan pembatasan tersebut.

Namun, sayangnya aturan yang bagus tersebut dianggap melanggar konstitusi oleh MK sehingga harus dibatalkan dan otomatis membuka kran bagi berbagai klan politik di daerah dan partai, untuk melanggengkan kuasanya. Satu contoh saja misal di Gowa, sejak puluhan tahun silam, salah satu kabupaten di Sulsel tersebut dikuasai oleh klan Yasin Limpo. Contoh lain di Klaten misalnya, klan Haryanto dan Sunarno secara bergantian duduk di kursi kekuasaan. Kemudian yang legendaris tentu saja di Banten dengan klan Ratu Atut-nya.

Maka, seperti pernah ditulis di postingan terdahulu, dengan realita bahwa berbagai klan politik tumbuh subur tanpa adanya pembatasan di dunia perpolitikan tanah air, hanya tinggal menunggu waktu saja model dinasti politik yang menyeruak di berbagai pilkada akan juga terjadi di ajang pilpres.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline