"Tanah ini milik kalian, karena sudah diwariskan Pandawa kepada raja-raja Jawa. Belanda tidak punya seujung kuku pun hak atas tanah di sini,"
Hari itu, 7 Februari 1889. Seorang pria kurus berusia sekitar 30 tahun, bernama Samin Surosentika untuk pertama kali berbicara di depan pengikutnya di oro-oro (lapangan) di Bapangan, Blora. Malam itu pula, dengan diterangi obor penerang, Samin Surosentika mengumpulkan pengikutnya di sekitar oro oro Bapangan dan menyatakan perlawanannya terhadap Kolonial Belanda.
Perlawanan Samin tergolong sebagai reaksi atas sikap dan perilaku pemerintah kolonial dalam sistem kehidupan masyarakat pinggir hutan, tempat di mana Samin dan pengikutnya hidup dan bertempat tinggal. Tekanan-tekanan dari pemerintah kolonial berupa kerja wajib serta kenaikan pajak merupakan salah satu faktor pendorong perlawanan masyarakat pinggir hutan. Selain itu, hilangnya sumber-sumber daya ekonomi dan kultural misalnya pembatasan untuk memanfaatkan hasil hutan.
Samin dan pengikutnya telah terbiasa memanfaatkan kayu di hutan sejak turun temurun, bahkan sebelum larangan-larangan pemerintah Hindia Belanda ada. Munculnya istilah 'pencurian kayu' yang disematkan oleh pemerintah kolonial Belanda merupakan istilah yang asing sekaligus aneh bagi masyarakat yang tinggal di dekat hutan, karena mengambil kayu di hutan itu dalam alam pikiran mereka, adalah hak setiap orang. Maka istilah pencurian kayu sebagai jargon politik pemerintah kolonial tidak dapat dipahami dalam logika berfikir masyarakat. Sebaliknya, bagi masyarakat, justru pemerintah kolonial dianggap telah merampas hak-hak masyarakat atas hutan yang telah mereka tinggali secara turun temurun.
Sejak Samin menyatakan perlawanannya kepada pemerintah kolonial Belanda tanpa model kekerasan, yaitu dengan cara menolak membayar pajak kepada kolonial Belanda serta tetap mengambil hasil hutan tanpa mengindahkan aturan dan larangan yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial Belanda, maka masyarakat sedikit demi sedikit tertarik dan bergabung menjadi pengikutnya. Hingga tahun 1907, diperkirakan pengikut Samin telah mencapai angka sekitar 3.000an.
Melihat pengikut Samin dari hari ke hari semakin besar, membuat pemerintah kolonial Belanda menjadi khawatir. Akhirnya pada 15 Maret 1907, Samin dan beberapa pengikut setianya ditangkap dan kemudian diasingkan ke Padang, Sumatra Barat. Meski begitu ternyata gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda tetap tidak berhenti, para pengikutnya tetap melaksanakan gerakan menolak untuk membayar pajak kepada kolonial Belanda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H