Lihat ke Halaman Asli

ari imogiri

warga desa

Siapa Tahu Berani Mendepak Partai Nakal dari Koalisi....

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari-hari ini, kita kembali disuguhi cerita tentang rencana kocok ulang kabinet yang akan berusia dua tahun. Dan hari-hari ini pula kita dapat saksikan kembali betapa drama tentang kesungguhan presiden untuk mengocok ulang kabinetnya demi peningkatan kinerja pemerintahannya dipertontonkan. Tak kurang sejak kemaren presiden tidak lagi berkantor di istana Negara, namun memilih berdiam diri di puri cieas sambil mendiskusikan tentang siapa-siapa yang musti digeser atau diganti dengan orang-orang di lingkar terdekat dirinya.

Lihatlah betapa presiden menyuguhi kita dengan pencitraan, bahwa kocok ulang ini sedemikian penting dan serius sehingga presiden musti tidak berkantor di istana Negara namun di kediaman pribadinya, sehingga seolah-olah, bahwa yang yang serius memang tidak bisa dipikirkan dan diputuskan di ruang resmi (istana Negara) namun musti dipikirkan dan diputuskan di ruang pribadi (puri cikeas).

Padahal, rencana kocok ulang kabinet ini sebentulnya tidak terlalu menjadi perhatian rakyat, seperti kita-kita, oleh karena gonta ganti menteri tidak punya pengaruh langsung dengan perikehidupan rakyat di lapis bawah. Semua dari kkta juga mafhum bahwa tarik ulur kocok kabinet hanyalah konsumsi dan kepentingan elit-elit politik baik yang berkeringat di partai politik, maupun elit politik yang tidak mau berkeringat di partai politik namun juga ngebet jadi menteri, sehingga meluncurlah dikotomi partai dan professional, seakan-akan di partai tidak ada kalangan professional yang terlibat dan sebaliknya seakan-akan kalangan professional tidak ada yang merupakan elit politik.

Sementara itu, jika kita amati di tubuh partai-partai pendukung koalisi cikeas, tampaknya kembali hanya dua partai anak nakal yang mengeluarkan pernyataan yang bisa dikategorikan nakal, yaitu partai Golkar dan PKS. Golkar lewat salah seorang petingginya bahwa jika menteri dari partai Golkar dikurangi dalam kocok ulang ini, maka “tanggung saja akibatnya”, tentu ini adalah sebiah gertakan politik yang dilakukan oleh Golkar untuk menaikkan posisi tawarnya di dalam menghadapi rencana kocok ulang kabinet. Sementara dari kubu PKS, mengeluarkan pernyataan akan membuka secara terbuka kontrak politik mereka dengan presiden jika kader PKS yang jadi menteri ada yang tergusur.

Menanggapi pernyataan dari 2 anak nakal ini, kubu demokrat, partai milik presiden, terkesan cuma menohok PKS saja, lewat salah satu tokoh pentingnya, Ahmad Mubarok, demokrat justru meminta agar jatah kursi PKS dikurangi, dan bahkan tentang ancaman PKS yang akan membeberkan isi kontrak politik itu, dia berujar "Kontrak itu tak bisa mengalahkan konstitusi presidensial. Itu hak-hak presiden, tidak bisa dikalahkan dengan kontrak,"

Dari sisi menimbulkan asumsi bahwa demokrat akan berusaha agar untuk memberi pelajaran kepada partai-partai yang nakal di koalisi lewat dikuranginya kursi dari PKS. Sementara untuk Golkar, karena selain kursinya memang besar di parlemen, tapi juga piawai dalam melakukan maneuver politik, tampaknya demokrat masih berpikri ulang untuk berani mengurangi kursi milik Golkar. Tapi, itu baru pandangan dari tokoh demokrat, karena pada akhirnya kata putusnya ada di tangan sang presiden sendiri, siapa tahu, dengan mempertimbangkan dukungan yang diperolehnya sewaktu pemilihan presiden, maka sang presiden berani bukan hanya mengurangi kursi dari partai-partai nakal, namun lebih dari itu berani menedepaknya dari koalisi dan kabinet, siapa tahu…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline