Lihat ke Halaman Asli

ari imogiri

warga desa

Sah-sah Saja Partai-partai Islam Berkoalisi...

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu 2014 sudah usai beberapa waktu yang lalu, dan hasilnya, berbeda dengan berbagai survei yang digembar-gemborkan di media beberapa waktu menjelang pemilu. Pemenang pileg, berdasar hasil quick count ternyata hanya mencapai angka 19an persen, jauh dibawah prediksi berbagai lembaga survei yang begitu yakin bahwa partai banteng akan mancapai angka di atas 30an persen jika mengumumkan pencalonan jokowi sebagai calon presiden sebelum pileg. Namun ternyata, jokowi tidak terlalu ngefek, sebagaimana juga sebenarnya telah terlihat di berbagai hasil pilkada yang telah menjadikan jokowi sebagai jurkam, dengan target adanya jokwi effect, namun hasilnya terbukti, hanya jateng saja yang bisa dimenangkan, yang lain gagal total, termasuk di kandang banteng, bali.

Dengan hasil suara yang dibawah 25 persen suara, sebagaimana yang dipersyaratkan untuk bisa sendiri mengusung pasangan capres cawapres, maka partai banteng kemudian bergerak untuk mandapatkan sekondan agar bisa melenggang mengusung jokowi di pilpres. Pasca pileg, berbagai partai telah mereka ajak komunikasi, namun nyatanya, hanya nasdem, yang langsung tanpa ba bi bu menyatakan dukungannnya bergabung dengan partai banteng mengusung jokowi sebagai capres.

Tak ada yang aneh dari komunikasi dan kerjasama politik antara partai banteng dan nasdem itu, sebagaimana tak ada yang aneh dan mempersoalkan ketika partai beringin, sebagai pemenang kedua, dan telah berketetapan hati untuk mengusung ketua umumnya, ical sebagai capres, konon telah mengikat kerjasama dengan partai hanura.

Yang jadi aneh adalah, ketika beberapa hari silam, tokoh-tokoh Islam dan tokoh-tokoh partai Islam bertemu, dan mengikhtiarkan adanya kemungkinan terjalinnya kerjasama politik antara partai-partai berbasis massa Islam. Langsung saja begitu banyak mulut nyinyir yang mengomentari dan terkesan tidak suka dengan adanya kemungkinan terjalinnya kerjasama politik antara partai berbasis massa Islam.

Padahal, tokoh – tokoh Islam, tak pernah sekalipun mempersoalkan model kerjasama politik antara partai nasionalis, banteng dan nasdem, golkar dan hanura.

Lalu mengapa, jika partai-partai berbasis massa Islam, baru juga sedang mengusahakan adanya kerjasama politik, maka berbagai mulut nyinyir langsung keluar. Sepertinya kemudian, di tengah iklim demokrasi ini, hanya kerjasama antara partai berbasiskan ideologi nasionalis saja yang tidak dipersoalkan, sementara jika prtai-partai berbasis ideologi dan massa Islam mencoba bekerjasama, maka langsung menjadi persoalan, dan dicurigai ini itu.

Padahal, semestinya, mau kerjasama antara partai nasionalis dengan nasionalis, Islam dengan Islam, Islam dan nasionalis, sah-sah saja dilalukan, tergantung kesepakatan antara pemimpin partai itu, toh semua partai itu, baik nasionalis dan islam, dijamin keberlangsungannya di negeri ini.

Apalgi faktanya, meski berbagai hasil survei sebelum gelaran pileg memprediksi semua partai berbasis massa Islam akan rontok, bahkan tidak mencapai angka batasan threshold, nyatanya hasil pileg memperlihatkan hasil yang sebaliknya, hanya satu partai yang turun, yaitu pks, itupun turunya tidak setajam yang diprediksi berbagai hasil survei dan pengamat, sementara partai-partai yang lain mengalami peningkatan, sehingga jika ditotal maka menghasilkan angka lebih dari 30 persen, lebih besar dari pemenang pileg, partai banteng, yang hanya mencapai angka 19an persen.

Selalu saja ketika parta-partai Islam bertemu, sorotan yang muncul adalah pada sosok Amien Rais, pendiri PAN, yang di awal reformasi berhasil menggalang koalisi poros tengah yang terdiri atas partai berbasis massa Islam dan menempatkan Gus Dur sebagai presiden dalam pemilihan demokratis di MPR, sebagai pemilihan presiden demokratis pertama yang dilakukan setelah berulang kali hanya demokrasi semu ketika di era orde baru selalu setiap lima tahun hanya terjadi aklamasi pengangkatan Soeharto sebagai presiden negeri ini.

Bagi sebagian pihak, terutama pendukung partai banteng, kemenangan poros tengah di sidang MPR waktu itu adalah upaya penjegalan terhadap jagoan mereka, Megawati. Mereka selalu beranggapan bahwa Megawati lah yang berhak untuk menjadi presiden, karena partai banteng memenangi pileg di tahun itu. Padahal tak ada satu pun aturan perundangan yang bisa jadi pedoman bahwa pemenang pileg otomatis menjadi presiden. Karena aturan yang ada bahwa presiden dipilih lewat sidang umum MPR. Maka dengtan aturan itu, siapapun bisa maju sebagai calon presiden asal dicalonkan oleh fraksi di MPR, dan siapapun punya kesempatan yang sama untuk menang dan menjadi presiden. Dan kebetulan, saat itu poros tengah mampu menggalang dukungan lebih besar dari partai banteng sehingga bisa mendudukan Gus Dur sebagai presiden.

Kini, ketika partai-partai Islam kembali bertemu, maka trauma kekalahan di tahun 99 itu masih saja membekas di sebagian kalangan pendukung partai banteng, sehingga mereka begitu termehek mehek dengan adanya wacana poros baru, poros Indonesia Raya yang digaungkan oleh partai-partai berbasis massa Islam.

Padahal, sesungguhnya, jika pun nantinya poros Indonesia Raya jadi terbentuk, maka marilah kita uji di pilpres, siapa yang akan mendapatkan simpati dari rakyat pemilih dan menempatkan jagoannya sebagai pemenang, sebagai presiden Republik ini.

Kita tunggu saja, 9 Juli nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline