Ada serumpun pandan wangi yang tumbuh di pojok belakang rumah. Dulu, pandan wangi itu tumbuh di dekat sumur yang menjadi tempat mandi keluarga besar kami. Waktu aku kecil, sumur itu masih sederhana dan di dekatnya dibangun tempat mandi tanpa atap. Kami harus menimba air dulu sebelum mandi, hingga sepuluh tahun lalu, perigi itu akhirnya ditutup. Kamar mandi diperbaiki menjadi permanen dengan atap yang melindungi kami dari hujan.
Kami tidak perlu repot-repot menimba air karena ada mesin pompa air yang menyedot air perigi itu.
Tapi pandan wangi tetap bertahan hingga kini. Tanaman wangi untuk mengharumkan makanan atau minuman itu tetap memanjakan mata kami dengan daunnya yang hijau menjulur panjang serta wangi yang kami cium. Ada batang induk yang sepertinya sudah berusia cukup lama karena nampak besar dan berwarna gelap. Dari batang itu, tumbuh tunas-tunas baru yang menyebar ke sekelilingnya. Dulu, tanah tempat ia tumbuh relatif becek dan lembab karena selalu tergenang air dari air yang berasal dari kamar mandi.
Kata Nenek, usia pandan wangi itu nyaris sama dengan usia beliau. Padahal usia nenek sudah tujuh puluh tahun lebih. Berarti sepanjang waktu itu pula pandan wangi itu tumbuh di situ.
Sebenarnya, anak-anak nenek berkeinginan untuk membabat rumpun pandan wangi itu. Tumbuhan itu dianggap membawa suasana wingit di sekitarnya. Tapi tak satu pun yang berani melawan penolakan nenek. Termasuk Ibu, satu-satunya anak perempuan nenek sekaligus bungsunya yang hingga kini tinggal bersama nenek, sementara kakak-kakak ibu tinggal di kanan dan kiri rumah induk.
Persoalan muncul ketika terjadi pembagian warisan kakek berupa tanah, termasuk tanah tempat pandan wangi itu tumbuh. Sesuai wasiat kakek yang diteruskan oleh nenek. Pandan wangi itu tumbuh di tanah yang menjadi bagian warisan Pakde Broto, yang tepat berbatasan dengan bagian Ibu yang kebagian sumurnya. Saat ini, kami yang berada di rumah induk menggunakan sumur yang sudah ditutup dan menggunakan mesin pompa itu.
Masalahnya, Pakde Broto bermaksud untuk membuat bangunan di lokasi tumbuhnya pandan wangi. Imbasnya, pandan wangi harus dibabat. Mendengar itu, nenek meradang marah. Namun karena tanah itu sudah menjadi hak Pakde Broto, nenek hanya bisa mengeluh pada ibu, anak yang kini diikutinya. Apalagi nenek sudah sakit-sakitan karena sepuh dan lebih banyak berbaring di tempat tidur.
"Kau harus mencegahnya, Sih." Kata nenek kepada Ibu."Kau tahu pandanwangi itu sangat berarti bagiku. Aku tidak rela, jika tanaman itu dibabat. Aku kehilangan kenangannya."
Ningsih, ibuku hanya diam. Saat itu beliau sedang menyuapi nenek untuk sarapannya. Kebetulan aku yang sedang mengambil cuti kerja, ikut menemani ibu menyuapi nenek.
Aku tidak tahu kenapa nenek begitu gigih menolak pembabatan pandan wangi itu. Bahkan sejak dulu, saat pakde masih tinggal bersama nenek. Hanya saja, waktu itu kewenangan masih di tangan nenek. Kucoba kutanyakan kepada Ibu.