Berbicara terkait ekonomi dan aktifitas masyarakat di dalamnya tidak dapat dipisahkan dengan peran perbankan dan sistem keuangan di dalamnya. Tidak hanya sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat yang aman namun perbankan juga menjadi saluran peredaran uang kepada pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit. Keunikan tersebut membuat perbankan menjadi instansi yang menghubungkan hampir seluruh lapisan masyarakat dari sesama anggota keluarga ataupun pelaku bisnis hingga menjadi penghubung bagi institusi keuangan lainya seperti asuransi, pembiayaan, sekuritas, dana pensiun serta interkoneksi sesama pelaku perbankan lainnya yang secara garis besar dapat disebut sebagai sistem keuangan.
Berbeda dengan industri lain yang memperjualbelikan barang ataupun jasa, pelaku sistem keuangan sejatinya menjual kepercayaannya kepada masyarakat yang dituangkan dalam berbagai bentuk produknya. Kepercayaan ini sangat penting mengingat sistem keuangan merupakan tempat lalu lintas uang milik perorangan ataupun institusi yang merupakan harta paling likuid. Tidak adanya kepercayaan mengakibatkan buruknya kinerja pelaku industri keuangan salah satunya untuk menyalurkan kredit ke pelaku bisnis dan efek paling jauhnya adalah perekonomian negara menjadi tidak optimal karena tidak ada leverage yang cukup untuk pelaku usaha. Hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dapat mengakibatkan munculnya krisis moneter seperti yang pernah dialami Indonesia pada periode 1998.
Belajar dari Krisis Ekonomi 1998
Periode tahun 1998 dapat dikatakan sebagai periode terburuk dalam ekonomi Indonesia yang sedang menikmati pertumbuhan ekonomi di atas 5% dalam 10 tahun sebelumnya. Krisis ini dimulai dari melonjaknya nilai tukar US Dollar dan mata uang asing lainnya terhadap Rupiah yang mengakibatkan hutang-hutang swasta dalam denominasi mata uang asing dihadapkan dengan pembayaran bunga dan pokok yang terapresiasi hingga sangat memberatkan posisi keuangan di periode tersebut. Efek lebih lanjut menghantam supply kebutuhan pokok yang menipis akibat terlalu banyaknya pemenuhan kebutuhan yang didapat dengan mengimpor.
Institusi perbankan pun mendapatkan dampak yang lebih keras. Hal itu juga diperparah dengan karakteristik perbankan yang saling terkait antara satu bank dengan bank lainnya sehingga bukan tidak mungkin bank yang sangat sehat pun dapat menjadi rapuh. Dilikuidasinya 16 bank bermasalah pada tahun 1998 mengakibatkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi perbankan. Kekhawatiran merebak karena tidak adanya kepastian terhadap uang di rekening mereka dan bukan tidak mungkin bank-bank lainnya akan dilikuidasi seiring jalannya waktu. Akibatnya tidak dapat dihindari, masyarakat menarik simpanannya secara masif dan dalam waktu yang relatif singkat. Bank-bank besar pun mengalami kekurangan likuiditas yang dibutuhkan untuk memastikan operasional bank tetap berjalan dengan baik.
Pemerintah berusaha memulihkan kembali perekonomian masyarakat pada saat itu namun waktu yang dibutuhkan serta biaya yang dikeluarkan untuk keluar dari krisis tidaklah kecil. Bantuan paket ekonomi dari IMF selalu disertai dengan syarat-syarat tertentu yang seringkali membuat ekonomi masyarakat semakin sulit khususnya pengurangan subsidi BBM dan Listrik. Bantuan untuk perbankan pun dibuat dalam program BLBI yang di kemudian hari menjadi bola panas antara pemerintah dan DPR.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa stabilitas sistem keuangan harus dijaga semaksimal mungkin oleh pemerintah karena ketika krisis ekonomi terjadi, dampak perbaikannya sangat mahal, mudah dipengaruhi oleh peristiwa politik, sertamenguras energi dan perekonomian masyarakat yang seharusnya dapat berfokus pada pertumbuhan.
Peran BI dan OJK saat ini
Demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, pemerintah melalui Bank Indonesia serta OJK berbagi peran untuk mewujudkan hal tersebut. Selain fungsinya untuk mengendalikan laju inflasi, BI juga mengawai perbankan dalam lingkup makroprudensial sementara OJK mengawasi perbankan dalam lingkup mikroprudensial.
Dalam lingkup makroprudensial, BI menilai resiko diukur dari spillover dampak & biaya yang ditimbulkan serta keterkaitannya dengan makroekonomi secara keseluruhan. Artinya pengawasan terhadap perbankan bersifat satu keutuhan industri serta dampak terhadap perekonomian masyarakat secara keseluruhan. Sementara pengawasan yang dilakukan OJK dalam lingkup mikroprudential menilai resiko diukur dari tingkat kesehatan dan kinerja masing-masing pelaku sistem keuangan. Kedua fungsi pengawasan tersebut sejatinya tidak saling tumpang tindih melainkan saling melengkapi satu sama lain sesuai dengan tugas & lingkup masing-masing.
Fungsi riset dan pemantauan yang dimiliki memungkinkan Bank Indonesia untuk mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara makroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan yang dapat mengancam stabilitas sektor keuangan.
Di sisi lain, OJK juga memiliki peran dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan melakukan pengawasan kepada pihak-pihak yang saling terkait seperti menilai kecukupan modal, pinjaman dalam mata uang asing, kredit macet, likuiditas, serta sensitivitas terhadap resiko pasar. Mengingat pengawasan OJK bersifat mikroprudensial, maka OJK menjadi lembaga yang menilai masing-masing pelaku di dalam sistem keuangan.
Dengan adanya kedua fungsi di BI dan OJK tersebut diharapkan potensi instabilitas sistem keuangan yang berpotensi berakhir dengan krisis ekonomi dapat dideteksi secara dini. Tindakan pencegahan sejak dini sangat penting untuk dilakukan mengingat krisis ekonomi yang menghantam suatu negara memiliki harga yang sangat mahal dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kondisi seperti semula. Hal tersebut semata-mata dilakukan oleh pemerintah agar masyarakat tetap mempercayai sistem keuangan dan lebih jauh lagi pemerintah dapat berfokus pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi masyarakat.
Sebagai negara yang pernah mengalami krisis ekonomi yang cukup parah, Pemerintah Indonesia tidak melupakan masa-masa pahit tersebut melainkan menjadikannya sebagai bahan pelajaran yang sangat berharga sehingga peristiwa serupa di waktu yang akan datang dapat dicegah. Usaha pemerintah ini diakui oleh IMF melalui Milan Zavadjil yang pada tanggal 24 September 2010 mengatakan bahwa kinerja perekonomian Indonesia secara umum sangat baik dalam 10 tahun terakhir dengan memperbaiki makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan terutama di sektor fiskal dan kebijakan moneter. Keberhasilan menghadapi krisis keuangan 2008-2009 menjadi bukti jelas daya tahan sistem dan membaiknya stabilitas keuangan Indonesia yang dibentuk 10 tahun terakhir ini. Dalam kesimpulan IMF, sektor keuangan Indonesia sudah menjadi sistem yang kuat dan itu merupakan sinyal positif bagi investor dalam dan luar negeri.
Sumber:
http://www.bi.go.id/id/Default.aspx
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H