Lihat ke Halaman Asli

Arif Kuswardani

Penulis, Guru dan Petani Milenial

Habibie untuk Prabowo

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hatta Rajasa, Generasi kedua Salman Habibie berkunjung ke
Boston. Ketika membaca nama yang mendampingi beliau, saya sudah
penasaran apakah beliau puteri Bang Imaduddin Abdulrahim, pelopor/

aktivis
Masjid Salman bersama dengan Bapak T.M. Soelaiman, A. Sadali dan A.
Noekman, arsitek yang mendesain masjid. Nama masjid Salman, diberikan
oleh Presiden Soekarno, karena Salman Alfarisi (yang asal Iran) adalah
seorang teknokrat yang mengusulkan pembangunan parit di perang Khandak.
Itulah salah satu kunci kemenangan saat itu. Bagi Bung Karno, dengan
spontan beliau mengusulkan nama 'Salman' untuk masjid tempat mendidik
calon-calon teknokrat. Bung Karno bisa spontan, karena wawasan beliau,
jam terbang baca meliputi segala macam. Sejak masih mahasiswa ITB, Bung
Karno sudah kutu buku, bahkan mungkin sejak masih di Surabaya dalam
asuhan Pak Tjokro. Oleh teman kost di rumah Ibu Inggit di Bandung, Bung
Karno sudah dikenal suka pidato dengan memakai gerakan tangan di dalam
kamar. Ya, beliau memang mempersiapkan diri menjadi pemimpin dari sebuah
negeri baru, membekali diri dengan segenap keahlian yang harus
dimiliki. Berwawasan luas, dan pandai dalam mengemukakan gagasan. Tidak
gagap. Saya pernah berjumpa Bang Imad dan Pak Nu'man, tentu
silaturahim yang membahagiakan bahwa 'tidak sengaja' berjumpa puteri
beliau. Mengingatkan kembali jejak panjang, rantai sebuah 'pendidikan
informal'. Setahu saya, Salman adalah 'masjid kampus' pertama di
Indonesia untuk kampus 'sekuler'. Saya sudah agak-agak lupa sejarahnya,
tapi memang selalu dipersulit saat itu. Sekiranya Bung Karno yang alumni
ITB bukan presiden, mungkin masjid tidak pernah kesampaian.
Dugaan kami benar bahwa beliau adalah puteri Bang Imad. Maka kami
sampaikan betapa kami yang pernah digembleng di Salman, layak berbangga,
karena kader 'tulen' Salman maju sebagai cawapres. Beliau menambahkan
bahwa bapaknya lah yang menjadi mentor Hatta di Salman. Sebagai gadis
kecil, beliau biasa duduk dan menghabiskan waktu di sekretariat Salman.
Hatta adalah generasi kedua Salman, yang dipelopori oleh bapaknya.
Generasi ketiga ikon-nya Pak Hermawan K. Dipojono yang menjadi mentor
kami. Sekarang berarti sudah generasi kelima. Sebelum kami berangkat ke
US, kami sempat ikut timses kandidat ketua Ikatan Alumni ITB. Saat itu
ada lima calon salah satunya Hatta, bersamaan dgn kongres alumni Salman
yang mengusung slogan "Dari Salman untuk Indonesia".
Pada hari yang sama, saya berkesempatan berjumpa beberapa alumni senior
ITB (sekaligus alumni Salman). Salah satu 'kesimpulan' menariknya, kalau
mendukung nomer SATU tidak perlu koar-koar, tidak usah perang Avatar.
Dua hari sebelumnya Habibie berkata, bahwa siapapun presidennya tidak
masalah karena yang penting cawapres-nya teknokrat. Senior saya sesama
alumni mengatakan pilih Hatta yang teknokrat 'tulen'. Soekarno lulus
dari ITB, Habibie pernah kuliah di ITB sebelum pindah ke Jerman, sudah
saatnya ITB 'mensedekahkan'
alumninya sebagai wakil presiden (5-10 tahun lagi presiden ;-p).
Pada masa-masa pra-1998, Prabowo sudah menjalin kedekatan bukan hanya
dengan kelompok Islam modern (termasuk ICMI yang salah satu pelopornya
adalah Bang Imad, sedangkan Bapak saya ikut ICMI Cabang Solo), tetapi
juga kalangan tradisional, blusukan sudah dari dulu. Karena itulah,
tidak heran kalau sekarang para Kyai Sepuh lebih banyak yang ke
Prabowo-Hatta, walaupun generasi mudanya mungkin terpecah.
Sebagaimana kata Aa Gym, Yusuf Mansur, dan Arifin Ilham, pada saat ada
satu jenderal yang dikenal luas di kalangan aktivis Islam sebagai
jenderal represif, hanya Prabowo-lah jenderal yang 'pasang badan' untuk
membendung. Karena itu, jangan heran di 2014 pun, jenderal2x yang
berseberangan adalah jenderal2x yg lebih senior, karena Prabowo
sesungguhnya 'mewakili' reformasi TNI-AD, lahirnya 'generasi baru' yang
memberontak kepada generasi di atasnya. Mana yang lebih 'bener' di
antara dua kelompok ini dalam membela rakyat, karena polarisasi kembali
terjadi di 2014, silahkan Anda pikirkan sendiri. Boleh jadi juga semua
cari 'untung' sendiri. Sekiranya militer pada 1998 itu satu komando,
maka kudeta menggulingkan BJH mungkin terjadi. Pada akhirnya, ada silver
line yang layak kita syukuri bahwa militer pecah. Yang penting
Indonesia tidak pecah. Para jenderal ini sudah mulai
kalap, sampai-sampai surat keputusan DKP yang sifatnya rahasia sekarang
menjadi milik publik (asli atau abal-abal perlu diverifikasi). Adanya
dokumen (anggap 'asli') itu justru meyakinkan saya, bahwa Prabowo
beberapa kali harus 'improvisasi' karena strategi yang diusulkan justru
'dijegal'/
tidak
disetujui oleh Pangab. Yang paling mengagetkan untuk saya dari dokumen
itu, bahwa Operasi Mapenduma yang mendapat apresiasi internasional pun
ternyata 'tanpa seijin' Pangab. Dokumen itu sekaligus memperjelas bahwa
status Prabowo adalah diberhentikan/
dipensiunkan,
bukan dipecat. Kapan lagi kalau bukan di masa pilpres, dokumen2x
rahasia menjadi milik publik? Kapan-kapan jadi ingin menulis tentang
Mapenduma yang militer US, Inggris, dan Belanda pun tidak berani. Dengan
doa para Kyai, Prabowo berani mengambil keputusan penting menerjang
bahaya dan menunjukkan kemampuan Kopassus. Ucap Sidrotun Naim




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline