PENDAHULUAN
Salah satu limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan adalah limbah tailing. Penjelasan mengenai limbah tailing telah sedikit saya jelaskan di tulisan saya sebelumnya.
Pengelolaan tailing yang berupa lumpur (slurry) adalah dengan mengumpulkan atau mengendapkan tailing di kolam waduk, dan memantau air yang keluar dari kolam waduk agar tidak menimbulkan dampak negatif terutama bagi kesehatan masyarakat dalam jangka panjang.
Di kolam waduk material padat lambat laun akan mengendap ke dalam kolam. Dan air di kolam waduk akan dialirkan untuk digunakan kembali atau dialirkan ke sungai untuk dibuang. Untuk memastikan agar air yang keluar dari kolam telah memenuhi persyaratan lingkungan, sebelum dibuang ke sungai, air dalam kolam harus lebih dulu diolah di instalasi pengolah limbah (IPAL) sehingga memenuhi persyaratan baku mutu air limbah.
Dalam pengelolaan limbah tailing sering mengalami kegagalan dan berdampak cukup besar bagi manusia, lingkungan, ekonomi, serta keberlanjutan operasi perusahaan pertambangan itu sendiri.
KASUS KEGAGALAN BENDUNGAN TAILING
Laporan yang diterbitkan oleh Komisi Internasional untuk Bendungan Besar “Bulletin International Commission on Large Dams (ICOLD) 121 tahun 2001”, melaporkan bahwa sampai tahun 2000 telah tercatat 221 kali terjadi musibah besar pada bendungan limbah tambang, yang telah menelan korban jiwa cukup banyak, antara lain : bendungan limbah tambang Aberfan inggris tahun 1966 korban lebih dari 100 orang. Mufillira Zambia tahun 1970 : 89 Orang, Bufallo Creek USA 1972 : 125 Orang, Stava Italia 1985 : 269 orang. Dan beberapa kasus kegagalan penanganan limbah tailing lainnya seperti Merriespruit pada tahun 1994, Los Frailes pada tahun 1998, Kolontar pada 2010 dan Mount Polley pada 2014 dan jebolnya tailing dam OK Tedi Mining di Tabubil, PNG, Tahun 1984. Pada bulan Mei 2016, BHP Billiton digugat secara hukum sejumlah US$ 58 milyar di Brazil, setelah jebolnya bendungan tailing menewaskan 19 orang.
Insiden kegagalan bendungan tailing menunjukkan bahwa tidak hanya dapat menyebabkan kematian, namun dapat (biasanya) mengakibatkan kerugian sepertiga dari kumpulan modal pasar, biaya pembersihan dan kerugian langsung yang lebih dari US$100 juta (dolar tahun 2014) dan biaya kemungkinan tuntutan kelompok hingga dua kali lipat (Vick 2014), dengan 60% rata-rata kemungkinan penutupan permanen tambang.
Jebolnya bendungan limbah tambang (tailing) di lokasi tambang Córrego do Feijão milik Vale di Brasil, 25 Januari 2109 dan menwaskan 248 orang memunculkan perhatian terkait risiko besar pertambangan yang secara mengejutkan ternyata masih belum ditangani secara memadai oleh banyak perusahaan tambang. Fasilitas bendungan limbah tambang (tailing) yang terdiri atas batuan yang telah hancur, air, dan bahan kimia pengolahan bijih memunculkan beberapa risiko paling umum dan paling besar bagi pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup di sekitar lokasi tambang. Fasilitas semacam ini kemungkinan besar sangat rentan terhadap terjadinya rembesan, yang dapat menyebabkan kontaminasi air tanah dan air permukaan. Bendungan limbah tambang (tailing) yang tidak stabil dapat jebol dan membawa dampak yang dahsyat, dengan lepasnya limbah dalam jumlah besar yang dapat mengakibatkan kematian, mengubur rumah, menghancurkan mata pencaharian, menutupi sungai, dan menyebabkan dampak jangka panjang yang serius terhadap pekerja, masyarakat setempat, dan lingkungan hidup.