Peringatan Hari AIDS Sedunia setiap 1 Desember menjadi kesempatan penting untuk meningkatkan kesadaran global mengenai tantangan yang dihadapi oleh orang dengan HIV/AIDS (ODHA), termasuk di Indonesia. Meski berbagai upaya pengobatan dan pencegahan telah dilakukan, masalah kesehatan mental para survivor AIDS masih menjadi isu yang sering terabaikan. Hingga 2023, data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat lebih dari 620.000 orang hidup dengan HIV, dan sekitar 40.000 di antaranya telah berstatus AIDS.
Masalah utama yang dihadapi oleh para survivor AIDS tidak hanya terkait dengan aspek fisik, tetapi juga dampak psikologis dan sosial yang sering kali lebih mempengaruhi kehidupan mereka. Survivor AIDS sering menghadapi beban berat, tidak hanya karena penyakit itu sendiri, tetapi juga akibat stigma sosial yang masih tinggi. Banyak dari mereka merasa terisolasi dari masyarakat, merasa takut untuk mengungkapkan kondisi mereka, bahkan cemas akan penolakan dari keluarga atau teman.
Masalah-masalah ini, jika tidak diatasi, bisa memperburuk kualitas hidup mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa lebih dari 60% ODHA di Indonesia mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Hal ini menunjukkan pentingnya perhatian terhadap kesehatan mental mereka sebagai bagian dari proses penyembuhan. Di sinilah kolaborasi antara pemerintah dan praktisi kesehatan mental sangat diperlukan. Kesehatan mental sering kali diabaikan dalam pengobatan medis HIV/AIDS, padahal ini sama pentingnya dengan perawatan fisik. Pemerintah dan praktisi kesehatan mental perlu bekerja sama untuk memberikan dukungan psikososial yang efektif bagi para survivor AIDS, yang tidak hanya membutuhkan pengobatan medis, tetapi juga perhatian terhadap kondisi psikologis mereka.
Praktisi kesehatan mental memiliki peran yang sangat vital dalam membantu para survivor AIDS untuk mengatasi masalah-masalah psikologis yang muncul akibat penyakit ini. Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, praktisi kesehatan mental menggunakan berbagai pendekatan untuk membantu mereka, seperti terapi individu, konseling kelompok, dan dukungan keluarga. Salah satu langkah awal yang dilakukan adalah memberikan pendampingan psikososial. Banyak survivor AIDS yang merasa kesulitan untuk berbicara mengenai kondisi mereka karena takut dihakimi atau ditolak oleh masyarakat. Praktisi kesehatan mental menciptakan ruang yang aman bagi mereka untuk berbicara tentang perasaan dan ketakutan tanpa rasa takut atau malu. Contoh nyata dari pendampingan psikososial dapat dilihat ketika seorang survivor AIDS yang mengalami kecemasan berat mendapatkan sesi konseling individu dengan seorang psikolog berlisensi.
Dalam sesi ini, pasien dapat menceritakan pengalaman pribadinya, seperti penolakan dari keluarga atau teman, yang dapat membebani perasaan mereka. Terapis kemudian membantu mereka dengan teknik relaksasi untuk meredakan kecemasan serta memberikan panduan untuk mengatasi rasa takut dan malu yang berlebihan. Dengan pendekatan ini, survivor AIDS merasa lebih kuat untuk melanjutkan pengobatan mereka dan menjalani hidup dengan lebih positif. Selain konseling individu, terapi kelompok juga memiliki dampak yang sangat positif bagi para survivor AIDS. Terapi kelompok memungkinkan mereka untuk berbagi pengalaman dengan orang-orang yang mengalami masalah serupa. Ini memberikan rasa kebersamaan dan mengurangi perasaan terisolasi.
Dengan berbagi kisah, para survivor AIDS merasa diterima dan tidak sendirian. Hal ini sangat penting dalam mengurangi rasa malu dan perasaan bersalah yang sering muncul akibat stigma penyakit ini. Di samping itu, praktisi kesehatan mental juga memainkan peran kunci dalam membantu survivor AIDS mengatasi trauma akibat diskriminasi sosial. Banyak dari mereka yang pernah mengalami penolakan dari orang terdekat atau bahkan diskriminasi di tempat kerja. Trauma psikologis ini dapat menghambat proses penyembuhan mereka. Praktisi kesehatan mental menggunakan terapi berbasis trauma (trauma-informed care) untuk membantu survivor AIDS mengelola perasaan mereka dengan cara yang lebih sehat, membangun kembali rasa percaya diri mereka, dan memperbaiki hubungan mereka dengan orang-orang di sekitar mereka.
Namun, meskipun peran praktisi kesehatan mental sangat penting, kebijakan pemerintah Indonesia dalam memberikan dukungan psikososial untuk survivor AIDS masih perlu banyak perbaikan. Sebagian besar kebijakan yang ada saat ini lebih fokus pada aspek medis, seperti distribusi obat antiretroviral (ARV) dan pencegahan penularan HIV. Sementara itu, dukungan terhadap kesehatan mental ODHA masih kurang mendapat perhatian yang cukup. Layanan kesehatan mental di fasilitas kesehatan sering kali tidak terintegrasi dengan layanan HIV/AIDS, yang menyebabkan banyak survivor AIDS tidak mendapatkan akses yang memadai terhadap dukungan psikososial.
Pemerintah perlu memperbaiki kebijakan terkait kesehatan mental ODHA dengan memastikan integrasi layanan psikososial dalam program penanggulangan HIV/AIDS. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan khusus bagi praktisi kesehatan mental di fasilitas kesehatan untuk menangani masalah psikologis yang terkait dengan HIV/AIDS. Praktisi yang terlatih dalam menangani ODHA akan lebih efektif dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan. Selain itu, fasilitas kesehatan di daerah terpencil sering kali kekurangan sumber daya, baik dari segi tenaga medis maupun infrastruktur. Ini menjadi hambatan bagi banyak survivor AIDS di daerah terpencil yang kesulitan mengakses layanan kesehatan dan dukungan psikososial.
Penyuluhan kepada masyarakat juga perlu ditingkatkan agar mereka lebih memahami tentang HIV/AIDS dan tidak lagi menganggap ODHA sebagai kelompok yang perlu dijauhi atau diperlakukan diskriminasi. Pemahaman yang lebih baik dari masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi para survivor AIDS untuk menjalani kehidupan mereka. Oleh karena itu, kampanye nasional untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA sangat penting.
Kolaborasi antara pemerintah, praktisi kesehatan mental, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi para survivor AIDS. Dengan dukungan psikososial yang memadai, para survivor AIDS dapat menjalani kehidupan mereka dengan lebih baik, tidak hanya dari sisi fisik, tetapi juga dari sisi mental. Pemerintah, praktisi kesehatan mental, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah ini dan memastikan bahwa setiap survivor AIDS, di mana pun mereka berada, dapat mengakses layanan kesehatan mental yang mereka butuhkan. Peringatan Hari AIDS Sedunia tahun 2024 harus menjadi momentum untuk memperhatikan dan memperbaiki sistem dukungan kesehatan mental bagi survivor AIDS di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H