"Apa aku pinter?" Suatu hari ada yang bertanya kepada saya begitu.
Entah kenapa saya spontan menjawab seperti ini, "Siapa pun yang bisa menata hidupnya untuk membantu dirinya sendiri dan orang lain adalah manusia pintar, membantu dalam hal sebagian besar persoalan hidup ya belajar, ya keluarga dan pekerjaan."
Berdasarkan definisi itu, saya berpendapat seharusnya siapa pun orang itu, dia pasti pintar.
Sepanjang dia bisa -- minimal -- menata kehidupan pribadinya lalu dia bisa membantu orang lain atau bermanfaat bagi orang lain, khususnya keluarganya sendiri.
Kemudian bisa disebut 'makin pintar' ketika bisa menata dirinya dalam menyelesaikan persoalan dalam pelajaran dan pekerjaan, hingga akhirnya bisa sukses.
Lalu, bagaimana dengan definisi pintar berdasarkan data-data buku rapor sekolah atau IPK di kampus-kampus?
Hmm, seperti yang sudah beredar dalam beberapa tahun belakangan ini, pola ajar mengajar yang mengedepankan 'angka rapor dan IPK' telah menjadi momok di negeri tercinta ini.
Gelar juara kelas atau lulus cumlaude seolah telah menjadi 'idaman' bagi para pelajar atau mahasiswa. Bahkan, orangtua pun ramai-ramai memposting keberhasilan tangkapan layar (screen shoot) rapor atau momen wisuda anak-anaknya di media sosial.
Bahkan, tangkapan layar pengumuman hasil penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi pun jadi konten para orangtua 'pamer' keberhasilan di medsos.
Benarkah menjadi 'idaman' para pelajar? Atau ini hanya ambisi kita, para orangtua agar kita merasa berhasil telah mendidik anak?