Lihat ke Halaman Asli

Arif Swa

Product Management

IT Bukanlah Hal yang Penting Lagi?

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada era knowledge economy sekarang ini ditandai dengan semakin meningkatnya peran Information Technology (IT) dalam berbagai kegiatan ekonomi. Tidak terkecuali dalam bidang marketing. Cerita kesuksesan business & marketing ideas dari Dell, Air Asia, Southwest Airlines, Amazon.com, iPod tidak bisa lepas dari peran penting IT.

Dell meminimalkan inventory cost dengan membangun online channel langsung ke end customer, memotong supply chain. IT yang dibangun Southwest Airlines dan kemudian Air Asia menjadi salah satu kontributor penting dalam memperkuat diferensiasi mereka sebagai low cost airlines. Kustomisasi layanan dari amazon.com – online retailer terbesar di dunia – sangat ditentukan oleh sistem informasinya. Fenomena keberhasilan iPod berawal dari konsep iPod / iTunes ecosystem yang sangat didukung oleh perkembangan teknologi informasi. Pada beberapa perusahaan berskala besar pun mempunyai posisi Direktur IT atau yang disebut dengan CIO (Chief Information Officer) sebagai salah satu indikasi lagi betapa pentingnya IT.

Makanya tidak heran, saat Nicholas G. Carr menulis artikel di Harvard Business Review, edisi bulan Mei 2003 dengan judul “IT Doesn’t Matter”, kontroversi pun terjadi. Dalam artikel tersebut Nicholas G. Carr berpendapat bahwa IT berpotensi untuk menjadi komoditas di masa yang akan datang. Saat semua mempunyai akses yang sama terhadap IT, maka potensi IT untuk menjadi sumber dari competitive advantage menjadi semakin hilang. Analoginya pada awalnya listrik bisa menjadi sumber competitive advantage saat sumber energi listrik masih langka dan sumber energi alternatif masih tidak efisien. Tetapi saat listrik sudah menjadi standard an akses ke sumber energi tersebut tidak lagi langka, maka akan sangat aneh kalau kita sekarang mendengar akses ke sumber energi listrik sebagai sumber sustainable competitive advantage.

Lebih parah lagi, kalau kita kutip kalimat dalam artikel tersebut: “When a resource becomes essential to competition but inconsequential to strategy, the risks it creates become more important than the advantages it provides. Kalau melihat secara parsial pada perusahaan-perusahaan yang listing di bursa saham New York (NYSE), maka kalimat tersebut bisa dianggap “menjadi kenyataan”. Repotnya melaksanakan prosedur risk management yang dipersyaratkan terhadap semua perusahaan yang listing di NYSE pasti dirasakan oleh IT people di perusahaan-perusahaan tersebut. Carr menyebutnya sebagai komoditisasi IT.

Bukan hanya teknologi informasi, tetapi sebetulnya teknologi pada umumnya punya potensi dan siklus yang sama. Walaupun tidak pada semua jenis teknologi, tetapi banyak teknologi yang perlu ditinjau ulang agar bisa menjadi sumber sustainable competitive advantage. Banyak teknologi yang sudah menjadi kategori easy to imitate. Teknologi yang digunakan Blackberry akan dengan cepat diadopsi oleh berbagai perusahaan di berbagai penjuru dunia. Di pasar Indonesia, tidak terlalu lama setelah booming “Blackberry”, disusul banjir “berry“ lainnya: “Nexianberry”, “Mitoberry”, “HTC-berry” yang merupakan gadget serupa dari produsen lokal dan Cina dengan harga yang jauh lebih murah.

Penguasaan proses belajar jauh lebih penting, termasuk proses organisasi untuk belajar marketing management yang efektif sesuai karakter industri dan karakter organisasi masing-masing. Banyak teknologi, termasuk IT sekarang bisa dengan mudah diakses oleh berbagai organisasi. Tetapi bagaimana memanfaatkan informasi menjadi knowledge dalam proses belajar di dalam organisasi merupakan peluang besar sebagai sumber competitive advantage. Hal ini memperkuat bagaimana pada era knowledge economy, intangible assets menjadi jauh lebih penting. Brand dari Dell tetap bertahan, walaupun skema supply chain-nya bisa diimitasi oleh perusahaan lain. Brand Coca Cola tetap bisa memimpin di pasar, walaupun formula coke nya bisa diimitasi bahkan diungguli oleh kompetitornya. Proses belajar dalam memanfaatkan informasi dari customer database menjadi sumber amazon.com dalam membangun competitive advantagenya. Dibarengi dengan brand management, diferensiasi tersebut menjadi susah untuk diimitasi walaupun teknologi informasinya bisa diimitasi. Air Asia masih terus mempertahankan competitive advantage-nya meskipun liputan dan ulasan mengenai “rahasia” dan “marketing ideas”-nya dalam memimpin pasar low cost airlines di Asia Tenggara sudah sangat banyak.

Judul artikel Nicholas G. Carr di atas memang terlalu kejam, tetapi esensinya adalah: hanya organisasi yang mampu “belajar” dengan baik bisa mempertahankan sustainable competitive advantage-nya dalam iklim kompetisi yang ketat.

Tetapi bagaimana menurut Anda? Setujukah dengan pendapat Nicholas G. Carr? Benarkah learning organization menjadi hal yang utama dalam membangun sustainable competitive advantage? Please share your marketing ideas @ http://kopicoklat.com dan belajar marketing bersama di blog ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline