Lihat ke Halaman Asli

Janji Malam

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

1

Mana janjimu. Katamu, kau bakal kembali saat-saat malam. Angin di gelap sini sudah terlalu banyak menyepuh tulang-tulang tegakku hampir rapuh. Tangeh lamun. Sepertinya kau berbohong, Nis. Mungkin ucapanmu kala itu hanyalah kumpulan kata penghibur agar aku tak begitu memperbanyak porsi sedih di saat perpisahan. Atau kau hanya menganggap perasaanku saat itu ialah sebuah kobaranblarak –daun kelapa yang sudah tua- yang hanya sesaat besar dan dengan cepat menciut. Jika benar itu adanya, kau egois, Nis!

“Tunggulah saat malam berwarna perak karena purnama, aku akan kembali untuk melunasi janji!”

Kau ucapkan itu. Dan warna pipimu memerah, malu. Aku hanya memandangnya saja. Karena di agama kita, sangat pantang seorang bocah muda menyentuh kulit wanita. Ingatkah kau saat Modin Parman –Kyai yang sering menjaga masjid- mengomel karena tak sengaja bahuku menyentuh bahumu saat berebut wudhu dengan anak-anak TPA lainnya.

“Enggar! Muliakan wanita. Agar wanitamu kelak memuliakanmu!”

Plak!

Tongkat tuanya mendarat keras di bokongku, karena ini masuk dalam pelanggaran kelas menengah.

Dan kau hibur aku dengan senyum tipismu yang entah apa maknanya.

2

“Annisah Pregiwa!”

Nama itu kau tekankan saat perkenalanmu di depan kelas waktu silam. Dengan segera pemuda kampung yang norak langsung menanyakan alamat rumah, nomor HP –karena saat itu kami sedang gencar-gencarnya menggunakan teknologi itu-, bahkan ada yang menanyakan ukuran sepatumu. Yaa, wajarlah. Kau punya wajah yang cantik, ayu menurutku. Nuansa perkotaan masih kau bawa. Bagaimana lelaki muda macam kami tak tertarik. Kau langsung tenar. Semua anak muda seakan sepakat mengadakan sayembara tanpa materai, siapa yang bisa memacarimu, dia dinobatkan sebagai pemuda terganteng momor satu semua penjuru sekolahan ini. Dan yang tak kalah heboh, kaum hawa. Bau dengki menyeruak di segala genk, membicarakanmu yang bukan-bukan, mengataimu yang neko-neko. Maklum, sekolah kami pas-pasan. Yang laki-laki berwajah tak lebih dari enam koma lima. Perempuannya, terlalu sering diampelas bedak parem seribu sebungkus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline