Lihat ke Halaman Asli

Novel Puitik Joko Pinurbo

Diperbarui: 8 Januari 2025   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel Srimenanti karya Joko Pinurbo | Sumber gambar: Gramedia.com

Sastrawan adalah seorang seniman sekaligus. Ia adalah kreator. Dia tak mandeg, dinamis. Sastrawan yang baik, konon tak hanya bisa bertahan pada satu genre. Ibarat kata, pagi menulis puisi, siang menulis esai, lalu malam menulis cerpen bukanlah hal mustahil. Dunia seni, bukanlah dunia yang statis. Ia adalah dunia yang penuh cakrawala dan penuh kemungkinan. 

Saat GM menulis novel, kita pun dikejutkan oleh betapa puitisnya saat penyair menulis novel. GM begitu lama sekali ingin menulis novel, dan baru tercapai saat usianya sudah 70 tahun lebih. 

Kita tak tahu, apakah GM bakal menulis novel yang lebih tebal dan rumit seperti esainya, atau seliris puisi-puisinya lagi. Yang pasti, sebagai sastrawan, GM menunjukkan kerja kreatifnya tak hanya menulis puisi, ia juga menulis esai dan menulis novel. 

Rendra misalnya, ia mengembangkan teater sepulang dari Amerika, ia sendiri juga dikenal sebagai penyair dan penulis. Pramoedya sendiri selain menulis novel, ia juga seorang pemikir kebudayaan. Radar Panca Dahana, selain menulis puisi, ia juga seorang pekerja teater dan budayawan. Emha Ainun Najib pun demikian halnya, ia dikenal sebagai budayawan dan sastrawan. Di Indonesia, para sastrawan yang menekuni dua atau lebih bidang sastra cukup banyak.

Di tahun 2019, kita dikejutkan oleh penyair kondangasal Yogyakarta Joko Pinurbo---yang menulis novel berjudul Srimenanti (2019). Pembaca puisi-puisinya akan terhenyak saat Jokpin beralih ke novel. 

Sebelumnya, Joko Pinurbo pernah menulis cerpen yang beberapa kali tampil di Harian Kompas. Cerita pendek Jokpin sederhana, kehidupan pinggir kerap diangkat, dan tak menghilangkan aroma puitis sebagaimana puisi-puisinya. 

Bagaimana dengan novel perdana Jokpin?. Membaca Srimenanti saya jadi ingat kredo puisinya Selamat Menunaikan Ibadah Puisi  yang jadi judul buku puisinya di tahun 2016. Jokpin tak menghilangkan kesan pembaca sebagai penyair. Ini nampak dari bagaimana ia mengemas kalimat-kalimat pendek dalam tokoh yang minim dialog. Jokpin di novel Srimenanti justru semakin mengukuhkan dia sebagai penyair ketimbang novelis. 

Pembaca bisa menyimak kutipan berikut ini: pada suatu kangen, setelah berhari-hari pergi mengerjakan sebuah proyek penulisan naskah film dokumenter, saya singgah ngopi di warung Bu Trinil. Dia senang saya muncul lagi. Dia mengira saya pergi untuk tidak kembali. 

Pembukaan yang puitis seperti ini bakal kita temui di novel Jokpin. Pembaca pun dihibur oleh kutipan-kutipan indah layaknya penggalan puisi. Mengapa ibu suka memasang senja di jendela? Barangkali senja adalah firman visual bahwa tak ada sesuatu yang tak berakhir; ketika esok harinya fajar rekah, itu artinya tak ada sesuatu yang tak bisa dimulai kembali. 

Srimenanti seperti endapan-endapan puisi Jokpin selama ini. Puisi-puisinya seperti menyusun sendiri tokoh-tokoh yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan Jokpin. Meski di pembuka novelnya sendiri Jokpin sudah mewanti-wanti pembaca: buku cerita ini merupakan karya fiksi meskipun di dalamnya terdapat nama-nama yang dapat dijumpai di dunia nyata. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline