Lihat ke Halaman Asli

Mala Anak Indonesia

Diperbarui: 25 April 2024   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Ema/Suarajogja.id 

Sungguh ironi menjadi anak Indonesia. Mereka hidup dan tinggal di negeri yang katanya---kepingan surga---, tetapi selalu dihantui ancaman hidup yang keras dan mengerikan. Bencana kelaparan, busung lapar, kekurangan gizi, sampai pada ancaman kehilangan nyawa dari perlakuan jahat orang-orang dewasa di sekitarnya.

Anak-anak Indonesia dihantui teror dan trauma. Masa keceriaannya hilang, larut dengan kerasnya hidup akibat derita kemiskinan yang dideranya. Keceriaan, tawa dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya direnggut oleh tuntutan hidup yang keras. BPS mencatat ada sekitar 4,59% bayi terlantar di tahun 2022. Anak-anak ini terpaksa hidup tanpa kepastian karena ditinggalkan oleh orangtua mereka. Rata-rata anak ini adalah korban dari hubungan gelap, kekerasan dalam rumah tangga maupun pergaulan bebas.

Anak, seperti tidak lagi memiliki tempat yang nyaman dan aman bagi ruang tumbuhnya. Di keluarga sendiri, anak-anak menghadapi ancaman kekerasan dari anggota keluarganya. Banyak kasus anak mengalami pemukulan, penganiayaan, hingga di ruda paksa oleh orangtua mereka sendiri. Keluarga sendiri tidak jarang menjadi sosok yang mengancam keselamatan mereka. Kasih sayang, cinta dan kehangatan yang mestinya didapatkan berubah menjadi ancaman, serta sakit yang harus diterima anak-anak kita dari keluarga mereka.

Di sekolah dan juga di lingkungan masyarakat, anak-anak dihantui ancaman keselamatan dari kekerasan fisik, verbal maupun seksual. Pelaku kekerasan itu bisa muncul dari teman mereka, orang dewasa di sekitar, bahkan guru-guru mereka sendiri. Sekolah yang dulu menjadi ruang aman untuk belajar, kini juga menjadi tempat yang menakutkan dan penuh ancaman. Ancaman perundungan baik verbal maupun fisik, hingga ancaman kekerasan seksual dari orang sekitar membuat anak dipenuhi rasa cemas setiap saat.

Jaminan rasa aman dan perlindungan yang layak pada anak-anak belum sepenuhnya didapatkan. Negara mestinya melindungi, menjamin keamanan dan keselamatan anak, pada kenyataannya belum mampu memiliki sistem pencegahan yang terstruktur untuk melindungi anak-anak kita.

Bertumbuhnya lembaga penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap anak belum juga mampu mengurangi atau menghentikan kekerasan pada anak. Proyek penanganan, pencegahan kekerasan terhadap anak lebih banyak gagal ketimbang membendung arus dan jumlah korban yang terus berjatuhan.

Semakin Buruk 

Dari segi angka statistik, kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat selama tahun 2022, terdapat 16.106 kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat selama empat tahun terakhir. Di bulan Oktober 2023, terdapat 1.478 kasus kekerasan terhadap anak, dengan korban kejahatan seksual 615 kasus, kekerasan fisik 303 kasus, anak yang konflik dengan hukum sebanyak 126 kasus, dan anak yang merupakan korban eksploitasi ekonomi sebanyak 55 kasus.

Program penanganan kekerasan terhadap anak cenderung dilakukan setelah korban berjatuhan. Pencegahan kekerasan terhadap anak selama ini belum optimal dijalankan oleh pemerintah maupun lembaga perlindungan anak.

Anak sering dianggap sebagai persoalan sekunder. Ia sering menjadi topik pinggir dalam kerangka pembangunan ekonomi, maupun pembangunan manusia. Anak dihadapkan pada pelbagai masalah. Dari aspek kebutuhan pangan dan gizi misalnya, negara tidak sepenuhnya menjamin keselamatan pertumbuhan anak yang tercukup dan terjamin gizinya. Anggaran pemenuhan gizi dan penuntasan stunting misalnya, justru habis di rapat-rapat mewah di hotel.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline