Saya terngiang dengan kalimat sambutan dari Direktur Eksekutif Leimena Pak Matius Ho. Orangnya kalem, ramah dan selalu murah senyum. Ia selalu memberi senyum tulus kepada siapa saja, saya mengamati dari belakang saat ia menyambut tamu dari dalam dan luar negeri. Ia mengulang kalimat ini di akhir sambutannya. Saya tercenung menyimak kalimatnya, "Percuma kita beragama tetapi tidak manfaat ke orang lain?". Kalimat itu ia lontarkan di acara "Gala Dinner" dalam acara International Conference on Cross Cultural Religious Literacy di Hotel Indonesia Kempinsky (Senin, 13 November 2023).
Sebagai seorang yang papa ilmu, saya berniat berangkat mengikuti International Conference sejak Ahad (12/11/2023), saya sudah tiba di Bandara Adi Soemarmo sejak pukul 12.00 Wib. Saya menunggu dengan sabar pesawat tiba hingga pukul 13.00 Wib. Saya keluarkan buku bertajuk Ki Hajar Dewantara di mata Cantrik dan Mentrik. Ada satu tulisan yang mengangkat bagaimana jiwa merdeka itu penting. Jiwa merdeka itulah yang menuntun anak dapat hidup sesuai kodratnya dan menempuh jalan hidup yang benar. Tugas guru adalah menuntun anak didiknya memiliki jiwa merdeka.
Tak terasa, pesawat pun akan berangkat. Pukul 14.05 pesawat pun terbang.
Saya mendengar suara pesawat yang mirip kapal pecah. Gila... negara seluas ini belum bisa mengurus masalah penerbangan batin saya. Suara itu bukan hanya membuat jantung berdecak kencang, tetapi mengingatkan aneka kejadian kecelakaan pesawat yang ada di Indonesia. Saya hendak marah tapi pada siapa?.Saya pun pasrah saja sembari merapal zikir sebanyak-banyaknya.
Selang berapa menit, pesawat pun terbang menaiki awan. Dagdigdug saya belum berhenti, hati saya belum tenang. Tetapi pemandangan Boyolali, Klaten, Jawa Tengah dari atas pesawat begitu menggoda. Saya menengok ke bawah, sembari berucap dalam hati, betapa kayanya Indonesia. Ladang hijau, pegunungan dan alam yang indah. Indah sekali Indonesiaku. Sangat Indah.
Selang beberapa menit, saya merasakan pesawat sudah mulai stabil. Bunyi kapal pecah dan motor mogok pun perlahan hilang. Bersama dengan itu saya menikmati pemandangan pasukan langit. Awan kinton yang beraneka rupa membuat saya tertegun. Dari atas langit saya tengok ke bawah. Hati saya tertunduk, "betapa kecil manusia, betapa Kuasanya Tuhan."
Sebelum berada di langit Jakarta saya disuguhi jajaran kapal berbaris rapi membawa bendera merah putih. Saya kembali tercenung, "negeri bahari dicabik-cabik menjadi negeri bermental daratan", saya jadi ingat mendiang Radar Panca Dahana yang mengucap kalimat serupa. Mental laut, mental tangguh diubah menjadi mental daratan, mental cengeng. Mental melawan samudera, mental kuat diganti mental lembek. Radar adalah guru hidup saya meski saya berguru bak Ekalaya murid Guru Dorna seperti dalam kisah Mahabarata.
Ketika tiba di langit Jakarta, saya disuguhi pemandangan PLTS di Jawa Barat yang diresmikan Jokowi beberapa waktu lalu. Saya berpikir, mengapa selambat ini Indonesia membuat PLTS. Lepas dari pikiran yang bagai ombak ke sana kemari saya melihat langit Jakarta yang masih hitam. Kota terburuk yang penuh polusi itu memang riil. Siapa tidak prihatin saat melihat Jakarta tertutup awan hitam bak asap kendaraan bermotor. Itulah kesan awal memasuki kota metropolis, kota Jakarta.
Setelah tiba dari bandara saya menghubungi Mbak Natasha yang sangat ramah. Ia berpesan agar saya langsung memilih taxi sesuai titik yang dipesankan, tak lama saya menemukan taksi saya. Setelah saya melaju cukup cepat saya bercakap-cakap dengan driver. "Pak, bapak kerja seperti ini shift apa seharian?". Bapak taxi itu menjawab , freelance Mas, satu kali berangkat 35K. Saya tertegun sedih juga mendengar pernyataan bapak sopir taxi, padahal tarif taxi sekali jalan bisa 200K ke atas. Taxi saya mungkin bisa lebih karena kelas Golden Bird. Dari sini saya belajar kejamnya kota, kejamnya kapitalis.
Sebelum sampai di Hotel Indonesia, Driver taxi saya bilang, "Mas, hotel mewah ini Mas, saya baru kali ini ngantar ke sana. Biasanya hanya hotel-hotel biasa."
Perasaan saya campur aduk antara senang dan perasaan canggung. Tetapi, saya bersyukur saja. Setelah tiba di hotel saya pun senang mendapatkan layanan ramah dari panitia. Saya ketemu dengan Mbak Natasha dan Mbak Gege saya menyebutnya begitu karena mirip Gege bersyanda....yang lagi viral itu.
Tiba di kamar saya mandi dan bersih diri. Sembari menikmati view hotel dan pemandangan Bundaran HI. Di Bundaran HI saya merasa denyut nadi kota ini serasa tak henti. Saya merasakan manusia yang terus bergerak dari malam ke malam hari. Kota ini seperti tak pernah mati. Saya beristirahat membuka buka buku Ki Hajar kembali, jadwal acara besok, lalu memejamkan mata.
Ketika Senin pagi tiba (13/11/2023), saya pun mulai dipadati agenda seminar. Saya menyimak tiap sesi. Para tokoh, duta besar sampai pemimpin dunia membincangkan " Human dignity dan cross cultural religious literacy. Martabat manusia, literasi keagamaan lintas budaya.