Saya terkesima, takjub, sekaligus merenungi lebih jauh dan dalam tentang pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini setelah menyimak wawancara Gita Wirjawan dan Filsuf perempuan Indonesia, Karlina Supeli yang membincang tentang guru dan pendidikan Indonesia.
Saya membayangkan Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim menonton tayangan yang ada di Channel Endgame Gita Wirjawan. Perbincangan antara Karlina Supeli dan Gita Wirjawan itu bertajuk "Cipta, Rasa, Karsa manusia Indonesia" (23/5/2023)
Pendidikan di Indonesia memang masih karut marut. Problem dasar pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari problem "guru". Guru di Indonesia saat ini masih mengalami problem klasik sebagaimana disebut oleh Gilbert Highet (1961) yakni gaji kecil dan kesejahteraan minim.
Problem kesejahteraan guru ini tidak hanya menjadi problem personalistik. Problem gaji guru ternyata menjadi pikiran dan pertaruhan negara dalam memuliakan nasib guru.
Sebagai negara yang besar, pada kenyataannya Indonesia menjadi negeri yang dinilai belum mampu mensejahterakan guru dibanding tuntutan atau beban kerja guru.
Amanah UUD 45 yang menganggarkan anggaran pendidikan 20% masih habis pada penanganan infra struktur, kebutuhan operasional sekolah, sisanya tunjangan guru yang masih jauh dari kebutuhan yang ada di seluruh Indonesia.
Problem keuangan ini turut mempengaruhi bagaimana mekanisme perekrutan guru yang disesuaikan dengan kemampuan anggaran pemerintah.
Nadiem Makarim sebenarnya telah berjanji di tahun 2021 akan mengangkat guru PPPK sebanyak sejuta guru. Namun hingga saat ini baru sebanyak 293.000 guru yang berhasil direkrut.
Pemerintah daerah yang diminta mengajukan kuota untuk memenuhi kekurangan guru ini terkena dampak psikologis. Mereka khawatir bahwa kewenangan penggajian PPPK akan dilemparkan ke daerah. Sementara anggaran keuangan daerah tidak setiap daerah mampu mengurusi aspek penggajian guru. Meski sejatinya penggajian guru selama ini masih terpusat pada pemerintah pusat.
Menjual (Skill) Guru