Pada dasarnya sastra mengandung kebenaran kemanusiaan. Sastra tidak semata dibuat untuk media hiburan, namun sastra juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang bernilai dan dapat mempengaruhi dan memberikan suatu stimulus kepada penikmatnya. Salah satu jenis sastra yang belakangan menjadi keprihatinan penulis adalah satra anak. Sastra anak ditujukan untuk anak-anak, dimana pikirannya masih berkembang dan menerima segala sesuatu entah itu masuk akal atau tidak.
Sebagai karya sastra tentulah berusaha menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan, mempertahankan, serta menyebarluaskannya termasuk kepada anak-anak. Sastra tentang anak bisa saja isinya tidak sesuai untuk anak-anak, tetapi sastra untuk anak sudah tentu sengaja dan disesuaikan untuk anak-anak selaku pembacanya. (Puryanto, 2008: 2)
Beberapa waktu yang lalu, mungkin sebagian pembaca masih ingat dengan tingkah dua orang anak, masih sekolah di tingkat dasar dan berlagak layaknya orang dewasa. Si anak menuliskan status di media sosial yang isinya adalah foto anak laki-laki yang sedang mencium anak perempuan, dan juga ada kalimat seperti ini
"Sudah kayak Boy dan Reva. Tinggal minta (motor) Ninja sama mama,"
Bagaimana pembaca yang tentunya sudah lebih dewasa menanggapinya?
Saya sendiri yang sekarang adalah mahasiswa prodi PGSD (Pendidikan Guru Sekolah dasar), betapa terkejutnya saya. Kejadian itu setidaknya menjadikan saya, dan teman seperjuangan saya yang bergerak di dunia pendidikan harus lebih peka. Di kutipan dari unggahan foto si anak tadi dia mencantumkan nama boy dan Reva, nama yang tidak asing, karena terkadang saya menonton acara TV yang diputar di salah satu stasiun TV swasta itu. Saya akui memang acaranya menghibur, namun tidak bermutu.
Sinetron-sinetron di Indonesia memang sudah banyak dikritik banyak kalangan (termasuk saya), namun nampaknya kritikan-kritikan tersebut tak didengar oleh pembuatnya. Banyak sinetron yang mempertontonkan adegan yang tak harusnya disaksikan anak-anak. Bahkan sinetron-sinetron tak mendidik tersebut terus mempengaruhi gaya berpikir anak kecil untuk tak fokus pada kewajibannya bersekolah dan justru mementingkan hal lain yang tak ada subtansinya (contohnya seperti di atas).
Tak hanya kejadian Reva & Boy, banyak juga kejadian yang menurut saya tragis bagi anak-anak, antara lain adalah anak-anak SD yang sudah berani merokok, perkelahian antar pelajar, anak remaja belasan tahun yang tega memperkosa ibu kandungnya hingga hamil, kasus gadis remaja yang dijual temannya sendiri pada lelaki hidung belang untuk melayani nafsu seksnya, hingga yang tidak aneh lagi saat ini, yaitu banyaknya anak gadis yang hamil diluar nikah akibat berbuat tidak senonoh dengan pacarnya, dan masih banyak lagi.
Sarumpaet (dalam Puryanto, 2008: 3) mengatakan persoalan-persoalan yang menyangkut masalah seks, cinta yang erotis, kebencian, kekerasan dan prasangka, serta masalah hidup mati tidak didapati sebagai tema dalam bacaan anak. Sudah jelas sekali sinetron yang kebanyakan tayang di TV indonesia ini tidak bermutu dan berpendidikan, mungkin para pembuatnya lebih condong ke arah uang sehingga mengesampingkan pendidikan.
Menurut Puryanto (2008: 7) secara garis besar, ciri dan syarat sastra anak adalah:
Cerita anak mengandung tema yang mendidik, alurnya lurus dan tidak berbelit-belit, menggunakan setting yang ada di sekitar atau ada di dunia anak, tokoh dan penokohan mengandung peneladanan yang baik, gaya bahasanya mudah dipahami tapi mampu mengembangkan bahasa anak, sudut pandang orang yang tepat, dan imajinasi masih dalam jangkauan anak.
Puisi anak mengandung tema yang menyentuh, ritme yang meriangkan anak, tidak terlalu panjang, ada rima dan bunyi yang serasi dan indah, serta isinya bisa menambah wawasan pikiran anak