Lihat ke Halaman Asli

Mereka Cacat Fisik, tetapi Tidak Cacat Mental

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

inspirasi hidup

[caption id="" align="alignnone" width="295" caption="inspirasi hidup"][/caption] Bisa jadi mereka cacat fisik, tidak seperti kita yang lahir dalam keadaan relatif sempurna sebagai manusia, akan tetapi kalau kita mau bercermin dari mereka bisa jadi kita malu pada diri sendiri dan nikmat yang Tuhan berikan ini. Jiwa kita begitu rapuh untuk mengukir prestasi gemilang, dengan berjuta alasan yang selalu kita kemukakan, seolah melengkapi jawaban bahwa kita tumbuh ya memang seperti ini, menjadi manusia biasa saja, tidak mungkin berprestasi, tidak mungkin bisa berubah. Itulah sesungguhnya cermin bahwa kita memang tidak cacat fisik, tapi bisa jadi kita cacat mental. Kita sering merasa kasihan ketika melihat seseorang yang cacat tubuhnya. Misalnya, buta, tuna rungu, anggota tubuh tidak lengkap, dll. Terlebih yang cacat tersebut masih anak-anak. Bahkan pernah diberitakan orangtua yang membuang bayinya yang cacat. Sungguh menyedihkan. Padahal sejarah mencatat cukup banyak orang-orang berprestasi yang memiliki ketidaksempurnaan fisik. Ambil contoh, Helen Keller yang buta, Alexander Graham Bell yang tuna rungu, dll. Seorang tuna netra bernama Thaha Hussein pernah menjadi Menteri Pendidikan di Mesir. Mereka terlahir ke dunia dalam keadaan cacat. Tetapi kecacatannya itu tidak menghalanginya untuk maju dan berbuat yang terbaik untuk manusia.

Ujian yang mahaberat, jika disikapi dengan pikiran terbuka dan jiwa yang lapang, bisa mengobarkan semangat perjuangan yang tak gampang padam. Dan, semangat itulah yang dikobarkan seorang bocah bernama Qian Hongyan.

Kita memang kadang perlu belajar dari seorang bocah. Jika kita ingat kembali, semangat sebagai anak-anak sangat kuat untuk menerjang semua halangan dan tantangan. Satu contoh nyata adalah saat kita belajar berjalan. Meski jatuh berkali-kali, sebagai seorang bocah kita tentunya terus berusaha hingga benar-benar bisa berjalan seperti saat ini. Dan, semangat ala bocah inilah yang-barangkali-mampu menjadi “bara api” yang terus menyala di tengah gelap dan kerasnya ujian bagi sesosok anak berusia belasan dari negeri China, Qian Hongyan. Ujian yang menimpa Qian memang sangat berat. Betapa tidak, di usianya yang masih sangat dini-tiga tahun (tepatnya pada bulan Oktober 2000)-ia mengalami kecelakaan fatal yang mengakibatkan separuh tubuhnya hingga batas pinggang harus diamputasi. Kondisi itu diperparah lagi dengan keadaan ekonomi orangtua Qian yang tidak berkecukupan. Karena itu, keluarga gadis cilik yang tinggal di Zhuangxia, China itu tak mampu memberikan kaki palsu untuk Qian. Sebagai gantinya, keluarga tersebut menyangga tubuh Qian dengan potongan bola basket. Sebuah solusi yang jauh dari kata nyaman, seperti kaki-kaki palsu lainnya.

Namun, meski tumbuh dengan keterbatasan, Qian membuktikan bahwa dunia belumlah tamat bagi dirinya. Ia tumbuh menjadi gadis yang periang dan murah senyum-seolah-olah tak terjadi suatu apa pun dalam dirinya. Dengan memantulkan bola basket di bagian bawah tubuhnya, dan dibantu penyangga untuk membantunya bergerak, Qian tetap bisa menjadi bocah lincah layaknya kebanyakan anak normal.

Lain halnya dengan Nicholas James Vujicic (lahir 4 Desember 1982) adalah seorang pembicara motivasi dan Direktur organisasi nirlaba Hidup Tanpa Limbs. Lahir tanpa anggota badan karena gangguan Tetra-amelia langka, Vujicic harus hidup dengan kesulitan dan penderitaan sepanjang masa kecilnya.

Namun, ia berhasil mendapatkan lebih kesulitan ini dan, di tujuh belas, mulai organisasi sendiri nirlaba Life Without Limbs. Setelah sekolah, Vujicic dihadiri universitas dan lulus dengan besar ganda. Dari titik ini, ia mulai perjalanan sebagai seorang pembicara motivasi dan hidupnya menarik lebih banyak liputan media massa. Saat ini, dia secara teratur memberikan pidato tentang topik, seperti cacat, harapan, dan menemukan arti hidup. Kecacatan fisik bukanlah hambatan bagi seseorang untuk berprestasi, karena cacat mentallah sesungguhnya yang menyebabkan kita menjadi pecundang (Bukan Pemenang). Memenangkan diri melawan mental yang malas, tidak kreatif, memperturutkan hawa nafsu adalah tugas yang besar dan akan membawa kemuliaan hidup. Belajarlah dari orang-orang yang terlahir dalam kecacatan atau kekurangan masih tetap berprestasi (bersyukur). Bersyukur adalah prestasi, kalau mereka saja bisa melakukan perubahan besar dalam kehidupan ini, apalagi kita. sekali lagi katakan dalan hati dan keraskan dalam ucapan lisan " KALAU DIA BISA, SAYA JUGA BISA" . Semoga memberikan kemanfaatan, insyaAllah dalam tulisan yang lain akan di bahas kisah hidup yang menginspirasi ini dalam postingan tersendiri. http://www.sekolnet.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline