Dalam kebudayaan timur kita, bebas atau freedom terkadang dikonotasikan sebagai sesuatu hal yang kurang atau sangat tidak tepat untuk diimplementasikan dalam kehidupan kita. Bahkan tidak mengherankan lagi jika ada yang berasumsi bahwa pola hidup seperti itu diasosiasikan sebagai cara hidup yang terlalu bebas, seks bebas, dan segala hal yang buruk, atau dengan lain perkataan diidentikan dengan segala sesuatu tentang keliaran.
Padahal jika kita tinjau dari perspektif dalam artian positif, kebebasan di sini diandaikan sebagai segala sesuatu yang secara ilmiah dan universal telah melekat pada diri manusia-manusia yang sejatinya hidup untuk berpikir, untuk merasa, dan untuk memilih bagi diri sendiri.
Berangkat dari prinsip yang universal tersebut, kebebasan jika diterjemahkan sebagai sebuah sistem mengenai pengaturan kehidupan sosial, berarti mengandung makna bahwa suatu sistem yang mempercayai bahwa individu-individu yang ada dalam suatu sistem sosial kehidupan sesungguhnya dapat mempergunakan kemampuan atau potensi dalam dirinya serta menjunjung harkat dan martabat mereka sendiri secara alamiah dan juga mampu memilih yang terbaik bagi diri mereka sendiri.
Terkadang memang ada kekhawatiran bahwa apabila seseorang dibiarkan bebas memilih, misalnya dalam ruang lingkup sebagai seorang warga negara, maka seorang tersebut ditakutkan akan memilih ke arah yang buruk. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa tindakan memilih terkadang memang bisa keliru. Akan tetapi hal itu merupakan suatu bagian dari proses pembelajaran untuk menuju ke arah kedewasaan, atau untuk menjadi pribadi yang otonom.
Apabila manusia selalu ditempatkan dan dipilihkan secara terus-menerus oleh otoritas yang ada di luar dirinya, maka manusia tersebut tidak akan lahir menjadi seorang yang dewasa atau matang dari segi mentalitas, melainkan hanya lahir sebagai manusia yang dewasa secara fisik dan prematur dalam segi mentalitasnya. Artinya di sini manusia tersebut hidup di bawah tekanan yang secara fundamental tidak mempunyai otoritas untuk memasungnya.
Bertolak dari penjelasan di atas, manusia pada hakikatnya dilahirkan sebagai pribadi yang murni bebas dan tidak ada tekanan atau otoritas di luar dari pada dirinya sendiri. Hal itu tidak perlu disalahartikan sebagai sesuatu yang menjurus ke arah individualisme, atau sesuatu yang berlawanan dengan “budaya Timur”, termasuk kita di Indonesia, yang pada umumnya mengecam pada perilaku individualisme yang mana sebagai embrio dari masyarakat yang individulistis dan tidak memiliki solidaritas terhadap penderitaan sesama, dan sebagainya.
Kita juga harus mengakui bahwasanya fakta keras setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk melihat dunia dalam perspektif kacamata yang ada pada dirinya, yaitu dengan melihat kepentingan yang ada disekitarnya melalui kepentingan pribadinya sendiri. Dan hal itu merupakan kenyataan alamiah manusia di mana pun mereka berada. Tidak ada masyarakat yang mengerti akan makna dari semua itu di luar kacamata yang mereka gunakan. Sehingga di sini dapat di diartikan bahwa individualisme bukanlah sebuah paham, melainkan sebuah kenyataan.
Mengutip dari apa yang dikatakan Isaiah Berlin tentang konsep manusia sebagai makhluk yang bebas, dapat diterangkan di sini bahwa manusia bebas adalah manusia yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri, yang menjadi manusia sejati, yang mencapai hidup sepenuh-penuhnya. Manusia semacam ini bukanlah manusia yang senantiasa diperbudak oleh berbagai nafsu dan kesadaran palsunya, melainkan manusia yang secara alamiah berkebebasan merealisasikan segala potensinya yang sejati, yang “benar” dan yang “lebih tinggi”.
Konsepsi ini, menurut Isaiah Berlin, berbau romantik. Kebebasan tidak lagi dikaitkan dengan pembatasan tindakan sewenang-wenang terhadap individu, akan tetapi dengan suatu proses pemenuhan kesempurnaan hidup pada manusia itu sendiri. Jadi, dalam konsepsi ini, walaupun seseorang secara legal dan faktual tidak dikekang di bawah otoritas siapapun, dia tetap bukan manusia yang bebas sejauh dia masih diperbudak oleh kesadaran palsunya, oleh pikiran dan perasaannya yang “keliru”.
Akan tetapi, yang menarik dari konsepsi Isaiah Berlin, adalah konsepsi kebebasan yang semacam ini bisa berbahaya, bahkan sangat berbahaya. Kenapa? Karena, dengan sedikit manipulasi makna, pengertian “tuan” dalam konsepsi ini dapat menjadi “bangsa”, “negara”, “partai”, ataupun “kelas”. Sementara “hidup yang sepenuh-penuhnya” dapat juga diartikan sebagai hidup dalam “masyarkat sosialis”, “masyarakat baru”, ataupun “sejarah baru”. Berkaitan dengan hal ini, manusia dapat diartikan sebagai makhluk individual yang terdiri atas dua kenyataan yang berlawanan, yaitu kenyataan atas dirinya sejati, yang lebih tinggi, yang benar dan kenyataan atas dirinya yang lebih rendah, atas dasar nafsu belaka dan kesadaran palsu pula.
Jika pembalikan makna dari penjelasan tersebut sudah terjadi maka, menurut Isaiah Berlin, terbentanglah jalan yang sangat lebar bagi seorang despot untuk memerintah dengan sewenang-wenang dan memberangus kebebasan individu. Bukankah tetek-bengek nasib individu adalah hal yang terlalu kecil untuk dianggap serius bagi sebuah bangsa, partai, atau negara, yang sedang mengejar tuntutan sejarahnya untuk membangun kehidupan sosial masyarakat baru? Bukankah dalam proses pemenuhan tuntutan sejarah ini Diri yang Lebih Tinggi memang layak untuk memberangus Diri yang Lebih Rendah?
Konsepsi kebebasan positif, dengan kata lain, sangat cocok untuk menjadi alasan pembenar bagi tirani dan kekuasaan despotik. Dalam konsepsi ini tidak ada argumentasi yang secara prinsipil dapat mengatakan kepada Sang Penguasa untuk membatasi kekuasaannya dan menghargai kedaulatan masing-masing individu. Sekali Sang Penguasa berhasil memanipulasi beberapa pengertian kunci yang ada di dalam konsepsi ini, maka seolah-olah mendapat cek kosong, untuk melakukan apa saja yang dianggapnya perlu dalam mengejar “tuntutan sejarah”, “masyarakat baru”, atau apapun yang sanggup menjamin tercapainya “hidup yang sepenuh-penuhnya”.
Karena itulah tidak mengherankan jika seorang filsuf Isaiah Berlin, yang dikenal sebagai penentang gigih para pemimpin garis keras Israel, berkata bahwa konsepsi kebebasan semacam inilah yang berada di balik banyak malapetaka kemanusiaan pada abad ke-20. Di abad ini pula, kita tahu, muncul banyak pemimpin besar yang mengatas namakan bangsa, partai, kelas, atau negara, melindas nasib orang per orang untuk mengejar tujuan-tujuan yang dianggapnya bersifat historis, luhur ataupun progresif.
Untuk itu, atas kesadaran yang tidak ternodai oleh kepalsuan, sudah selayaknya sebagai manusia yang sejatinya lahir dalam keadaan bebas, tentunya bukan hal yang pesimis jika dipikir untuk lebih mampu dan lebih bijak menerima apa yang telah diwarisikan kepadanya sejak lahir. Bukan hanya berlapang dada dan menerima atas apa yang diinginkan dan diperintah olah kaum-kaum kelas otoritarian, akan tetapi kewajiban manusia yang utama adalah untuk menjunjung tinggi hak kebebasan yang telah melekat pada dirinya sendiri dan menjadikannya sebagai acuan atau tolak ukur atas apa yang menjadi dasar tindakan dalam rangka membentuk sesuatu yang lebih baik.
Artikel ini didasarkan dari buku “Dari Langit” karangan Rizal Mallarangeng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H