Apakah menulis bisa jadi tumpuan hidup?
Ini klise, dipertanyakan sejak zaman Siti Nurbaya diracun Datuk Maringgih. Pun dalam platform ini, dikonfrontasikan secara empiris antar sesama penulis.
Izinkan saya turut bersaga dalam laga. Berdasar apa yang saya yakini benar atas pertanyaan awal, bahwa dengan menulis, selama 20 tahun terakhir adalah berkah berbagai aset yang saya miliki saat ini. Rumah tinggal, lembaga pendidikan dengan sejumlah program beasiswa-nya, sampai bumbu dapur yang mengebulkan priuk nasi dan lauk, semua bermodal dari menulis.
Begini alibinya.
Mungkin.., karena saya telat bisa baca, yang membuat hasrat pada literasi justru membuncah. Baru kelas 3 SD saya lancar merapalkan aksara, malu sebetulnya ketika itu. Namun laiknya dahaga panjang di padang sabana, begitu bisa membaca, saya melalap begitu banyak bacaan. Dari komik sampai novel, tandas tak berbekas. Syukurnya, rumah saya hanya berjarak sekelebat dengan Perpustakaan Daerah, ketika dahaga memuncak, saya tinggal mengayuh sejenak untuk memancing kudapan buku yang berjejal itu.
Satu kali, angan terbang melebihi imajinasi, tak puas dengan alur cerita yang saya konsumsi, muncullah niat untuk menulis cerita sendiri. Mulailah saya membuat sejumlah komik dari buku gambar yang dilipat. Pembacanya, tak banyak, orang tua dan tetangga. Tapi sebetulnya, tanpa sadar, saya sudah mendirikan publishing company sejak masa SD lalu.
Ketika kuliah, saya bergabung dengan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa, belajar menulis dengan benar, feature, artikel, hard news, depth news dan seterusnya. Ketika lulus kuliah tahun 2002, zaman reformasi menyudahi perlawanan 32 tahun orde baru, masa yang mengekang media agar tak leluasa. Reformasi mencabut semua aturan penerbitan sampai ke akar-akarnya. Pada masa-masa itu, berbagi media cetak baru bermunculan bak jamur di musim penghujan. Dilalah, saya kepikiran punya media sendiri, laiknya Gunawan Mohammad yang merintis Tempo, mendiang Jakob Oetama perintis Kompas atau Dahlan Iskan dengan Jawa Pos-nya.
Saya sudah punya keterampilan menulis, yang saya kira sudah lebih dari cukup. Tinggal cari modal uang untuk mencetak yang belum ada. Saya pun kerja jadi orang kantoran, yang saban bulan, gaji saya tanamkan ke perusahaan.
Kebetulan masih turut orang tua, makan dan tinggal gratis. Namun di sinilah saya belajar satu hal penting, bahwa keterampilan teknis saya dalam menulis, tidak jaminan untuk membuat perusahaan media yang sukses. Belakangan saya tahu konsep keterampilan bisnis, berbeda rupa dengan keterampilan teknis.