Wabah kerumunan, inilah julukan yang disematkan untuk pandemi Covid-19. Kemampuannya menular dengan cepat, membuat berkumpulnya orang menjadi riskan penularan. Hal inilah yang kemudian berdampak pada sejumlah kebijakan, yang diambil pemerintah untuk mereduksi penyebaran, termasuk pada lembaga pendidikan salah satunya.
Alhasil, program school from home digulirkan hingga saat ini. Bagi kami yang beraktivitas di Kampus, kebijakan ini sontak membuat tempat aktivitas yang tadinya riuh ramai, kini bak hunian kosong. Parkir yang lengang, ratusan lembar buku di perpustakaan yang tak lagi tersentuh, atau deru suara typing keypad di laboratorium yang kini mendadak sunyi.
Ketika tahun ajaran baru berganti, kami memutuskan untuk menutup pendaftaran, dengan harapan, turut meminimalisir risiko penyebaran. Terlebih, proses kuliah online tak cukup maksimal menjadi ajang transfer pengetahuan. Kondisi ini, tentu berdampak pada cash flow.
Di satu sisi, kondisi kelas-kelas yang kosong, dan parkiran yang hanya diisi oleh dedaunan kering, membuat kami juga harus mengambil langkah penyesuaian. Mau tidak mau, sejumlah tenaga outsource untuk kebersihan dan parkir, menjadi kehilangan aktivitas karenanya.
Ketika berkomunikasi dengan perusahaan outsource tempat mereka bernaung terkait hal ini, saya justru mendapatkan informasi, bahwa ada 50an orang tenaga outsource lain yang kondisinya serupa, mereka kehilangan aktivitas, karena banyak perusahaan memang mengambil kebijakan sama, menutup operasinya.
Apalagi bagi kami yang berada di Bali, di mana selain sekolah, banyak hotel dan usaha terkait industri hospitality, tidak bisa beroperasi karena kebijakan tanggap darurat. Alhasil, banyak tenaga outsource yang kehilangan pekerjaannya, dan tak bisa pula dipindahkan ke perusahaan lain, yang kondisinya juga sama.
Belakangan saya melihat, bahwa tenaga ousource yang kehilangan pekerjaan, adalah para pendatang dengan status bukan penduduk tetap. Ketika sejumlah bantuan dicanangkan dari pemerintah, tidak serta merta menjangkau semua orang yang membutuhkan. Di tengah berbagai upaya bela rasa yang giat di mana-mana, ternyata ada lapisan kelompok yang luput dari uluran tangan. Bahkan tenaga outsource yang selama ini membantu kami, juga ada yang merupakan pendatang.
Berkaca dari kondisi tersebut, saya memulai inisiatif program Berbagi dengan nama Bagi Beban, untuk membantu dan memberi para tenaga outsource khususnya yang sudah berkeluarga, setidaknya menyantuni dengan sembako. Melalui platform kitabisa.com/bagibeban, upaya penggalangan dana kami jalankan bulan Juni silam.
Cuma kendalanya, adalah mengajak orang untuk mengetahui dan terlibat dalam program ini. Belakangan, saya melihat sejumlah musisi atau public figur, melakukan penggalangan dana dengan menggelar virtual concert. Ini jadi pencetus ide, saya pun menggelar talk show online bertajuk Book Writers, Talk About Writing & Careers. Saya mengundang sejumlah penulis buku dan praktisi, untuk berbagi cerita soal karir mereka.
Ada Rezky Firmansyah, anak muda yang produktif dengan belasan buku. Kini, ia yang memperkenalkan gerakan literasi dengan cara kekinian ke anak-anak muda lainnya. Ada Olivia Dianina Purba, yang berbagi soal kesehatan mental di kalangan siswa dan pelajar, buku barunya yang berjudul Happy Person, berisi langkah praktis agar generasi milenial keluar dari jebakan depresi.