Lihat ke Halaman Asli

Arif Rahman

instagram : @studywithariffamily

Jokowi Effect vs Janet Effect

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, rakyat Indonesia memiliki presiden baru, bapak Joko Widodo. Dari sekian banyak hal yang telah berkembang menjadi berita seputar kebijakan yang akan di tempuh oleh beliau, maka satu hal yang paling menyita perhatian adalah diskursus soal harga BBM. Bukan rahasia lagi, kalau “sidekick” pak Jokowi, Jusuf Kalla, selama ini paling mendukung soal pengurangan subsidi BBM. Dalam Forum Indonesia Knowledge III yang saya hadiri pada 10 Oktober lalu, pengamat ekonomi yang juga kawan dekat wapres Jusuf Kalla, Tony Prasentiantono menyampaikan bahwa kemungkinan besar harga BBM nantinya akan naik 3000 rupiah. Hal yang persis sama juga disampaikan Luhut Panjaitan yang masuk dalam tim transisi Jokowi beberapa waktu lalu dalam sebuah seminar di Universitas Udayana Bali.

Sementara di lain sisi, presiden baru Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (the Fed), Janet Yellen, memutuskan akan menghentikan stimulus [tapering off] pada tanggal 29 Oktober, seminggu setelah pelantikan presiden RI. Dampak dari kebijakan ini, adalah ketatnya likuiditas. Sejak Januari awal tahun ini, The Fed sudah memutuskan mengurangi stimulus dari semula US$ 85 miliar per bulan menjadi US$ 75 miliar per bulan. Sekalipun sejumlah pengamat ekonomi di Amerika masih meyakini bahwa perekonomian negara tersebut masih membutuhkan stimulus, namun Janet nampaknya bersikeras untuk menghentikan stimulus tersebut.

Lalu apa yang akan terjadi dengan perekonomian Indonesia dari dua kebijakan tersebut? Kenaikan harga BBM sudah tak bisa dihindari, selain karena subsidinya yang selama ini salah sasaran, bebannya juga sudah semakin besar dengan meningkatnya harga minyak dunia. APBN yang “jebol” mau tidak mau harus menjadi prioritas penyelamatan. Menaikkan harga BBM, adalah harga mati yang harus diambil, sekalipun secara politik akan menurunkan popularitas baik untuk pasangan Jokowi JK sendiri maupun bagi para partai pengusungnya. Inflasi, hampir pasti terjadi. Hal ini akan menggangu sektor riil secara langsung dan financial secara tidak langsung.

Sementara kebijakan Janet Yellen untuk menghentikan stimulus, menunjukkan bahwa perekonomian negeri Paman Sam kian membaik, upaya pengurangan stimulus yang terjadi pada awal tahun ini sudah berdampak pada capital outflow. The Fed, sebagaimana bank sentral lainnya, mengelola perekonomian AS dengan cara menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan. Namun, Fed tidak bisa menurunkan suku di bawah nol, di mana kebijakan ini pada dasarnya telah dipertahankan selama hampir lima tahun. Untuk merangsang ekonomi AS yang lunglai, maka the Fed memompa uang secara langsung ke pasar dengan mengeluarkan uang untuk membeli obligasi jangka panjang, baik itu surat utang AS atau obligasi kredit perumahan. Diharapkan nantinya, uang itu digunakan oleh perusahaan khususnya pihak swasta untuk diputar dalam perekonomian secara bisnis. Kebijakan ini menjadikan the Fed hingga akhir tahun kemarin, mengantongi tidak kurang dari US$ 4 triliun dalam bentuk obligasi. Padahal aset yang dimiliki The Fed sebelum krisis keuangan hanya US$ 800 miliar. The Fed sendiri mencetak uang untuk pemenuhan programnya menyuntikkan dana ini.

Dana besar hasil suntikan dari the Fed inilah yang kemudian digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang menerima likuditas besar tersebut mulai berinvestasi. Dan sebagai investor, maka mereka berinvestasi di negara yang memiliki pertumbuhan dengan suku bunga yang menguntungkan. Indonesia, China dan India adalah 3 negara dengan pertumbuhan yang positif, itu sebabnya banyak dana dari the Fed yang kemudian masuk ke negara-negara tersebut. Itulah sebabnya sejak resesi Amerika tahun 2009 lalu, justru Indonesia mengalami pertumbuhan yang eksponensial.

Lalu bagaimana jika tapering off benar-benar dilakukan?

Pada pertengahan tahun 2013 lalu, indeks harga saham gabungan (IHSG) terjun bebas ketitik nadir, jatuh lebih dari 20% [bearish]. Salah satu penyebabnya adalah rencana the Fed mengurangi stimulus. Dengan pengurangan tersebut, maka dana yang ditanamkan oleh investor Amerika di Indonesia, akan kembali [capital outflow]. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang tahun ini saja, investor asing yang mencatatkan net sell asing di pasar saham sebesar Rp 15,29 triliun. Nilai dana asing yang keluar itu hampir sama dengan nilai dana asing yang masuk tahun 2012, sebesar Rp 15,2 triliun. Namun bukan semata pengurangan apalagi penghentian stimulus yang justru meresahkan, namun kebijakan the Fed yang akan menaikkan suku bunga, hal ini akan mendorong para investor untuk merubah portfolionya. Dan Janet Yellen tengah mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga AS saat ini.

Jika hal itu terjadi, ditambah dengan kenaikan harga BBM, maka likuiditas dolar di pasar global berkurang, kenaikan suku bunga di emerging markets membuat pertumbuhan ekonomi semakin melambat. Melemahkan mata uang global sehingga membuat kepercayaan terhadap mata uang merosot serta menjadikan biaya impor menjadi lebih tinggi dan berpotensi mengurangi nilai cadangan devisa. Inilah alasannya mengapa sulit rasanya bagi rupiah kembali ke angka 11.000 per 1 US$ nya. Angka keseimbangan baru nantinya akan ada dikisaran Rp. 12.000. Sementara pertumbuhan yang selama beberapa tahun terakhir selalu diatas 5%, rasanya dalam waktu tahun-tahun kedepan akan menjadi salah satu hal yang akan di korbankan oleh pemerintahan Jokowi JK. Mungkin masih bisa menyentuh angka 5%, namun diatas 6% rasanya berat.

Saat ini, Bank Indonesia sendiri sudah pasang badan dengan membuat Bilateral Swap Arrangement (BSA) dengan Bank of Japan (BoJ) senilai US$ 22,78 miliar. Juga menandatangani perjanjian ASEAN Swap Arrangement senilai US$ 2 miliar, BSA dengan China senilai US$ 15 miliar, dan Korea Selatan senilai US$ 10 miliar. Di samping itu, BI juga memiliki fasilitas dana siaga dalam bentuk deferred drawdown option (DDO) senilai US$ 5,5 miliar. Memang dana-dana siaga ini digunakan untuk jaga-jaga. Mudah-mudahan saja, sekalipun dengan adanya rencana kenaikan BBM, BI tetap tidak harus menggunakan “ban serepnya” tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline