Bismillah, sobat sobat budiman,
Kita lanjutkan tentang bonding dengan remaja kita,
Bonding, atau ikatan emosional antara orang tua dan anak, adalah fondasi penting dalam perkembangan psikologis anak. Ikatan ini terbentuk sejak anak lahir dan terus berkembang melalui interaksi sehari-hari yang penuh kasih sayang, perhatian, dan komunikasi yang efektif. Ketika anak tumbuh menjadi remaja, kualitas bonding yang terjalin sejak kecil akan sangat mempengaruhi cara mereka membentuk hubungan dengan orang tua dan orang lain di sekitarnya. Bonding yang kuat antara orang tua dan anak tidak hanya memberikan rasa aman, tetapi juga menjadi landasan bagi perkembangan karakter, moral, dan spiritual anak.
Menurut pandangan psikolog Muslim, Dr. Aisha Hamdan, bonding yang baik antara orang tua dan anak tidak hanya bergantung pada seberapa sering orang tua berinteraksi dengan anak, tetapi juga pada kualitas dari interaksi tersebut. Hal ini mencakup komunikasi yang penuh empati, mendengarkan secara aktif, serta memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus. Dalam Islam, konsep bonding sangatlah penting. Allah SWT memberikan contoh teladan dalam Al-Qur’an melalui kisah-kisah nabi, salah satunya adalah Nabi Ibrahim AS, yang menunjukkan bagaimana orang tua dapat membangun ikatan yang kuat dan penuh cinta dengan anak-anak mereka.
Nabi Ibrahim AS adalah sosok ayah yang bijaksana dan penuh kasih sayang, seperti yang terlihat dalam interaksinya dengan putranya, Ismail AS. Saat Allah SWT memerintahkannya untuk mengorbankan putranya, Ibrahim AS tidak serta merta menjalankan perintah tersebut tanpa melibatkan anaknya. Ia dengan penuh kasih dan hikmah mendiskusikan perintah ini dengan Ismail, memberikan ruang bagi putranya untuk menyampaikan pendapatnya. Kisah ini memberikan pelajaran penting bahwa bonding yang kuat antara orang tua dan anak memerlukan keterbukaan dan komunikasi yang jujur.
Penelitian dalam psikologi perkembangan menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki bonding kuat dengan orang tua mereka sejak kecil cenderung memiliki kesejahteraan emosional yang lebih baik di masa remaja. Sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Child Psychology and Psychiatry pada tahun 2014 menemukan bahwa hubungan yang hangat dan responsif antara orang tua dan anak pada masa kanak-kanak berkorelasi dengan penurunan risiko masalah perilaku di masa remaja, seperti agresivitas atau perilaku anti-sosial.
Namun, bonding tidak hanya dibangun melalui interaksi positif saat anak masih kecil. Ketika anak memasuki masa remaja, orang tua perlu menyesuaikan cara mereka berinteraksi dan terhubung dengan anak. Remaja membutuhkan ruang untuk mengeksplorasi identitas mereka sendiri, tetapi mereka juga membutuhkan dukungan emosional dan moral yang konsisten dari orang tua. Dengan bonding yang kuat, orang tua dapat membantu remaja menghadapi tantangan masa pubertas, seperti tekanan sosial dan pencarian jati diri, dengan lebih percaya diri.
Dalam konteks Islam, bonding yang kuat antara orang tua dan anak juga dipahami sebagai sarana untuk menguatkan iman dan takwa. Menurut Imam Al-Ghazali, pendidikan anak harus dimulai dengan memberikan teladan yang baik dan mengajarkan nilai-nilai agama dengan cara yang lembut dan penuh kasih. Ini adalah bentuk bonding spiritual yang penting untuk membentuk karakter anak yang taat dan berakhlak mulia. Dalam hal ini, orang tua berperan sebagai pemimpin spiritual yang menuntun anak mereka untuk dekat dengan Allah SWT melalui contoh dan interaksi sehari-hari.
Bonding yang terjalin sejak dini juga berperan penting dalam membentuk attachment atau keterikatan emosional yang kuat antara orang tua dan anak. Remaja yang memiliki attachment yang sehat dengan orang tua mereka cenderung lebih mudah mengatasi tekanan sosial, lebih percaya diri, dan memiliki keterampilan sosial yang lebih baik. Namun, bagaimana cara membangun bonding yang kuat dengan anak remaja? Belajar dari Nabi Ibrahim AS, ada beberapa prinsip yang dapat diimplementasikan oleh orang tua dan guru dalam pengasuhan sehari-hari.
Pertama, penting untuk mempraktikkan pendekatan yang penuh kasih dan empati. Dalam kisah Nabi Ibrahim AS, kita melihat bagaimana ia dengan sabar mendengarkan dan berbicara dengan Ismail AS, bahkan dalam situasi yang penuh ujian. Pendekatan ini mengajarkan bahwa remaja membutuhkan orang tua yang siap mendengarkan dan menghargai perasaan mereka, bukan hanya mengarahkan atau menghakimi. Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Family Psychology, komunikasi yang empatik antara orang tua dan anak remaja dapat mengurangi risiko konflik keluarga dan meningkatkan kesejahteraan emosional anak.
Kedua, memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Nabi Ibrahim AS memberikan teladan ini ketika ia meminta pendapat Ismail AS mengenai perintah Allah untuk mengorbankannya. Ini menunjukkan pentingnya memberikan remaja ruang untuk berbicara, berpikir, dan mengambil keputusan, meskipun pada akhirnya orang tua tetap memberikan bimbingan. Bahwa remaja yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga cenderung lebih merasa dihargai dan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih tinggi.