Disela sela kesibukan perkuliahan dan pekerjaan penulis, hati ini mulai tergelitik untuk menulis satu peristiwa hukum yang sedang hangat dan cukup membuat resah gelisah.., yap....judol...atau judi online.
Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi muslim 229 juta jiwa pada 2023.dan tentu sebagai umat beragama sudah sewajarnya untuk patuh dan tunduk pada norma norma agama,larangan maupun anjuran. Namun yang menarik adalah justru PPATK mencatat transaksi judi di indonesia hampir Rp.200 triliun rupiah. Ini adalah kontradiksi dari pencerminan sikap negara dengan jumlah muslim yang masuk 10 besar di dunia.
Yang menarik adalah dalam perkembangan nya, judi online di indonesia ini di iklankan atau dipromotori oleh para influencer yang mempunyai pengaruh dan pengikut yang tidak sedikit di media sosial.tentu penulis tidak akan menganalisa pertanggungjawaban pidana dari penyedia situs judi online dan pemain nya, karena sudah nampak sekali ( expresif verbis ) dalam peraturan perudang undangan kita.
Namun yang menjadi konsen penulis adalah ada promotor / influencer yang mempromosikan judi online di sosial media kemudian ketika dikonfirmasi berdalih mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka promosikan adalah judi online dan menurut perkiraan mereka hanyalah game online saja. Dari kalimat ini, jelas tergambar bahwa mereka ingin menggunakan kesesatan fakta sebagai tameng pelindung.
KESESATAN FAKTA DAN KESESATAN HUKUM
Dalam hukum pidana kita mengenal adanya kesesatan fakta dan kesesatan hukum sebagai salah satu alasan penghapus pidana,
Kesesatan fakta ( feitelijk dwaling ) adalah suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana, dan kesesatan hukum ( rechtsdwaling ) berarti melakukan suatu perbuatan pidana dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh undang undang.
Dan kenapa ini penting, karena tidak selamanya perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan dapat dijatuhi pidana jika terdapat kesesatan di dalam nya.
Dalam kasus di atas, seseorang yang mempromosikan judi online dengan dalih tidak mengetahui bahwa apa yang di promosikan nya adalah judi namun hanya game online semata, secara tidak teliti betul dapat kita katakan demikian, namun setidak nya ada 2 parameter secara teoretik yang dapat digunakan untuk mengukur alasan kesesatan hukum tersebut. Pertama, tingkat pendidikan dan intelektual.
Apakah orang yang mempromosikan judi online tersebut mempunyai pendidikan dan kemampuan berpikir serta bernalar yang bagus untuk dirubah menjadi sikap kritis kepada produk yang dipromosikan. Kedua, latar belakang sosial termasuk tempat tinggal, sebagai contoh jika sang promotor tersebut tinggal di daerah hutan atau pedalaman yang tentu mempengaruhi sulitnya akses informasi dan crosschek terhadap barang atau produk tersebut.
Jika sang promotor ini mempunyai pendidikan dan kemampuan berfikir yang bagus serta dari latar belakang lingkungan sosial serta sarana yang MEMUNGKINKAN untuk melakukan pengecekan terhadap produk atau jasa yang ditawarkan namun tetap mempromosikan judi online tersebut, maka menurut penulis alasan kesesatan fakta tidak dapat dibenarkan, sikap ini cenderung lebih ke arah acuh terhadap apa yang dipromosikan jika tidak ingin dibilang modus.