Seluruh umat muslim di dunia termasuk Indonesia tengah bersuka cita karena salah satu moment keagamaan yang ditunggu-tunggu yaitu bulan Ramadhan telah tiba. Segala macam kegiatan dan acara dilangsungkan di seluruh penjuru negeri untuk menyemarakkan hadirnya bulan suci ini.
Mengapa begitu istimewa? Dalam kepercayaan umat muslim Ramadhan adalah bulan yang paling special karena di setiap harinya selama satu bulan penuh, mereka melakukan ibadah puasa. Tentu karena ritual ini bulan Ramadhan menjadi begitu berbeda dan terasa spesial. Di setiap malam selepas sholat Isya, bersama melaksanakan sholat tarawih. Dan tentu hanya ada di bulan Ramadhan saja.
Tidak hanya itu, seperti yang diajarkan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh hikmah, barokah dan karunia. Yang mana setiap pintu surga dibuka selebar-lebarnya, dan pintu neraka ditutup serapat mungkin. Setan-seta dibelenggu, dan penuh dengan ganjaran yang berlipat-lipat di setiap amalan baik yang dilakukan.
Moment Ramadhan terjadi satu tahun sekali, dan mengacu pada kalender Hijriayah. Sehingga bila dilihat dari kalender Masehi, tentu bulan Ramadhan seperti terus bergerak maju (Mei, April, Maret, dst), dan nanti pada akhirnya kembali berputar (Desember, November, dst). Karena memang ada perbedaan sistem penanggalannya.
Baik, di samping itu semua, apakah benar-benar perlu untuk sebuah persiapan? Apakah perlu persiapan yang melibatkan persiapan batin maupun lahir?
Jawabannya tentu saja iya. Baik itu persiapan batin maupun lahir sama-sama penting. Ibadah puasa adalah suatu ritual keagamaan yang mana dalam menjalankanya tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang berlandasakan nafsu seperti makan, minum, berhubungan badan, dan sebagainya. Termasuk juga tidak disarankan untuk marah, jengkel, dendam maupun penyakit-penyakit hati lain.
Dalam melihat persiapannya saja, sebagai seorang muslim tentu akan lebih mengetahui apa itu esensi dari ibadah puasa yang tidak hanya sekedar dari menahan lapar dan haus.
Dalam beberapa wacana, kerap terdengar bahwa orang puasa terbagi atas beberapa tingkatan. Mengutip dari kitab Ihya Ulumuddin karya ulama mashsyur Al Ghazali, bahwa ada tiga tingkatan orang yang berpuasa. Pada tingkatan paling rendah adalah mereka yang hanya puasa secara lahir saja, alias hanya menahan makan, minum dan syahwatnya saja, tapi secara batin tidak berpuasa.
Kebanyakan puasa yang demikian dilakukan oleh orang-orang awam. Walau sedang puasa mereka tetap melakukan kegiatan 'rutin' seperti menggunjing, marah, bahkan fitnah. Tetap tidak menjaga tindak laku mereka. Secara hukum syar'i memang mereka berpuasa. Mereka sahur, dan berhenti ketika imsak dan berbuka ketika magrib. Dilihat dari hukum orang berpuasa, mereka sudah lolos.
Namun secara esensi dan tujuan mengapa berpuasa itu diperintahkan itu yang belum didapatkan. Yang demikian tentu sangat disayangkan, mengingat ini hanya ibadah sekali dalam setahun.
Kedua, orang berpuasa yang selain menahan nafsu ragawi (makan, minum, syahwat) juga menahan pendengaran, pandangan, ucapan, gerakan tangan dan kaki dari segala macam yang berpotensi menimbulkan dosa.