Catatan Arif Minardi
Presiden Joko Widodo membuka Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-XXII di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (19/09/2024). Jokowi mengingatkan tentang sempitnya peluang kerja bagi rakyat Indonesia.
"Kalau Bapak-Ibu bertanya pada saya fokus ke mana, kalau saya sekarang maupun ke depan kita harus fokus kepada pasar kerja. Karena ke depan terlalu sedikit peluang kerja untuk sangat banyak tenaga kerja yang membutuhkan. Too few jobs for too many people," tutur Jokowi. Lebih lanjut menurutnya, bonus demografi yang puncaknya terjadi pada tahun 2030 membutuhkan kesempatan kerja yang luas. Namun, Jokowi menjelaskan bahwa saat ini dunia dihadapkan pada tantangan yang berat, yaitu terjadinya perlambatan ekonomi global.
Menurut Jokowi ke depan harus fokus pada pembentukan pasar kerja. Lantas bagaimana solusinya? Mengingat elastisitas ketenagakerjaan atau daya serap industri terhadap lapangan kerja memang sangat sedikit dibanding sepuluh tahun lalu. Karena orientasi investasi pada era Jokowi terlalu menekankan pengerukan sebanyak-banyaknya bahan mentah atau sumber daya alam (SDA). Belum banyak ke arah proses pengolahan yang memberikan nilai tambah dan lapangan kerja yang luas dan layak. Indonesia baru mengobral murah SDA kepada investor dengan berbagai insentif, namun peran investor belum signifikan dalam mengembangkan lapangan kerja yang layak dan memiliki standar yang baik.
Pengembangan pasar kerja tidak bisa dilakukan secara instan, harus sistemik dan berbasis jaringan pekerja nasional. Kita perlu mencontoh American Workforce Network (AWN) yang merupakan jaringan pekerja nasional Amerika yang menerima dana dari pemerintah federal di mana tugas utamanya adalah memberikan/menyediakan informasi kepada perusahaan agar mereka dapat menemukan pekerja yang cocok; sementara sistem yang sama diharapkan dapat membantu para calon pekerja dalam mencari dan mengembangkan karir mereka.
Pada era saat ini dunia investasi global mulai dilanda peperangan untuk memperebutkan kompetensi SDM. Implikasi dari peperangan memperebutkan kompetensi adalah semakin pentingnya rekrutmen staf korporasi yang memiliki kekuatan untuk mengakselerasi misi investasi dengan baik.
Sayangnya, peperangan itu di beberapa belahan dunia justru berlangsung tidak simetris. Karena terkendala oleh disparitas atau ketimpangan jumlah SDM berkompetensi tinggi.
Di banyak negara termasuk Indonesia, perang memperebutkan bakat terkendala oleh disparitas mutu tenaga kerja. Ada disparitas pasar tenaga kerja yang sangat serius. Disparitas tersebut kurangnya tenaga kerja berbakat atau ahli, utamanya di sektor industri. Disisi lain kategori penganggur yang ada sebagian besar tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Apindo yang menawarkan kerja sama untuk meningkatkan kompetensi ketenagakerjaan karena apa yang pengusaha/investor perlukan tidak diciptakan oleh lembaga pendidikan di negeri ini.
Disparitas akut tersebut sesuai dengan riset konsultan SDM terkemuka dunia, yakni Hays. Dalam laporan tahunannya yang bertajuk Hays Global Skills Index disebutkan terjadinya tren disparitas berupa semakin lebarnya jarak antara kebutuhan perusahaan akan pekerja berkompeten dengan pencari kerja.
Implikasi ketimpangan pasar tenaga kerja seperti yang dilansir oleh Hays diatas untuk Indonesia masih "tertimbun" oleh masalah gejolak ketenagakerjaan. Sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi negeri ini terus menerus diwarnai gejolak ketenagakerjaan. Kaum buruh semakin getol menuntut perbaikan upah dan skema jaminan sosial serta penghapusan praktik outsourcing. Kemudian dilanjutkan dengan perlawanan panjang akibat omnibus law UU Cipta Kerja yang disusul dengan masalah potongan Tapera dan potongan dana pensiun wajib.