Lihat ke Halaman Asli

Elpiji Naik Lagi, Empati Tak Boleh Mati

Diperbarui: 5 Januari 2022   08:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mentari masih belum juga menampakkan diri. Ayam jantan berkokok bersahutan berlomba membangunkan para warga. Dingin puncak musim kemarau sayangnya justru terjadi di Subuh bulan Januari. Sebuah tanda hari akan panas sepanjang hari. Dan Bu Farida, sudah di dapur menyalakan api.

Sudah menjadi kebiasaan  beliau memasakkan makanan untuk anak-anaknya sebelum mulai bekerja sebagai buruh cuci. Beratnya hidup menumbuhkan kesadaran akan masa depan anak-anaknya. Kesadaran yang diaktualisasikan dalam bentuk memberi sarapan terbaik agar sang anak mendapat gizi yang baik sehingga siap menerima pelajaran di sekolahnya.

"Bu, katanya elpiji non subsidi harganya naik lagi. Bagaimana ibu memasak nanti? Apakah jatah makananku akan dikurangi baik dari sisi kualitas ataupun kuantitas karena kenaikan harga ini?", tanya Adam, Putra Sulung Bu Farida yang sekarang duduk di kelas 12 Sekolah Menengah Atas.

"Gausah ngaco kamu! Liat itu tabung gas kita! Mana ada tabung gas sebesar melon gitu tidak disubsidi? Mana ada gas subsidi  naik harganya?", jawab ibunya dengan santai yang tidak santai-santai amat.

"Tapi Bu, kenaikan harga gas elpiji non subsidi ini diduga juga akan menaikkan harga kebutuhan bahan pokok lainnya. Lihat kasus-kasus kenaikan biaya listrik, kenaikan harga BBM, dan ssegala bentuk kenaikan lainnya!", kali ini giliran Mada, sang anak kedua Bu Farida yang memberikan argumentasi.

"Gini lho Le, anak-anak ibuk semuanya. Emang barang kebutuhan yang mana yang dia harus naik karena harga elpiji non subsidi naik. Produksi barang apa yang langsung menggunakan gas elpiji non subsidi ini? Apakah petani menanam padi, bawang merah, cabai, dan aneka rupa sayur-sayuran itu membutuhkan elpiji non subsidi ini? Apakah pabrik-pabrik pengolah makanan juga menggunakan elpiji sekecil itu? Bahkan lhoh Le, warung makan Bu Tatik seberang jalan sana, ramenya pol-polan tetap saja menggunakan tabung seukuran melon kayak punya kita. Jadi harga kebutuhan pokok yang mana yang mbok prediksi bakal naik itu?", rentetan pertanyaan justru dilancarkan Farida untuk anak-anaknya.

"Ya, faktanya kalau ada kenaikan-kenaikan barang yang sebelumnya disubsidi, akan memicu kenaikan barang yang lain Buk", Kata Mala, anak ketiga Bu Farida.

"Wis-wis Le, siap siap ke mandi, sarapan terus ke sekolah sana. Kenaikan-kenaikan harga terebut mungkin hanya ulah orang yang mungkin memang berniat mengoptimalkan peluang. Atau Bahasa yang lebih jelas, dilakukan oleh orang-orang  yang ingin memanfaatkan keadaan. Lha wong produksinya tidak berdampak apa apa kok menaikkan harga sesukanya. Kalau bukan orang yang berniat nyari untung  banyak di tengah kondisi, apa lagi memang Namanya?"

Dan satu pesenku lagi buat kalian ya Le, Api-api di kompor ini gaboleh padam sebab alasan apapun apalagi hanya karena uang. Seperti api-api kebenaran dan empati di hati kalian yang juga tidak boleh mati oleh sebab apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline