Lihat ke Halaman Asli

Batas Toleransi untuk Para Ahli

Diperbarui: 9 Juli 2015   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pernah saya berpikir bawasannya seorang ahli nuklir misalnya, tidak masalah jika suka mabuk-mabukan ataupun suka “bermain perempuan”. Toh manusia tidak ada yang sempurna. Asal punya minimal satu hal yang membuat seseorang bisa berguna buat orang lain, maka hal lain yang membuatnya tidak tampak seperti orang yang baik, tidak menjadi hal yang perlu diperhatikan.

Dengan alasan keterbatasan manusia untuk menjadi sempurna, selanjutnya satu sisi baik sudah cukup menjadi pembenaran untuk sekian banyak kesalahan. Contoh lain, seorang ahli mesin yang dapat membuat sebuah mobil tanpa emisi tetap akan saya pandang sebagai orang yang luar biasa walaupun tidak dapat memasang tinta ke dalam printer.

Seorang pemain sepak bola hebat tidak akan berkurang sedikitpun pandanganku akan keahliannya walaupun mungkin pernah beberapa kali tidak lulus sekolah karena akademisnya yang lemah.

Pikiran dan keterampilan manusia memang terbatas. Ahli satu hal belum tentu dapat menguasai atau hanya sekeder tahu yang lain. Terampil pada satu hal belum tentu dapat terampil di bidang yang lain. Dan mungkin memang Tuhan menciptakan yang demikian agar manusia bisa saling membantu dan menolong satu dengan yang lainnya tanpa ada satu yang merasa lebih dari yang lain.

Pada contoh kasus ahli mesin dan pemain sepak bola, saya masih dapat mentolerir dengan alasan keterbatasan manusia. Namun, pada contoh kasus yang pertama, sedikit demi sedikit pikiran saya mulai berubah.

Seiring berjalannya waktu, saya begitu resah dengan ahli suatu bidang yang tidak memiliki adab dan akhlak yang baik. Faktanya, Tuhan hanya membatasi kemampuan otak yang mengendalikan pikiran dan kemampuan otot yang mengendalikan keterampilan. Tuhan tidak membatasi hati manusia yang dapat menjadikannya bermoral, beradab, dan berakhlak mulia.

Tuhan memberikan hati pada manusia yang dapat menjadikan manusia beradab, bermoral dan berakhlak. Berbeda dengan pikiran dan otot yang walaupun manusia telah berusaha semaksimal mungkin tetapi tetap saja terdapat keterbatasan pada pikiran dan keterampilannya. Pada hati hanya diperlukan tekad dan kemauan untuk dapat menjadikan adab, moral, dan akhlak manusia mulia.

Dan mungkin, sudah waktunya kita membatasi toleransi kita pada pemikir, birokrat, teknokrat, dan/atau politisi yang memiliki perangai dan tabiat yang buruk. Sudah saatnya kita berhenti mengatakan “gak baik/gak sempurna akhlaknya gak papa, yang penting bisa bermanfaat”. “Gak bisa menjadi contoh dan panutan gak masalah yang penting dapat memecahkan beragam persoalan”.

Kenyataannya, persoalan yang dapat dipecahkan oleh orang yang bahkan tidak mau mengoptimalkan potensi yang tidak terbatas di dalam dirinya hanyalah masalah-masalah parsial yang tidak sampai ke akar persoalan. Persoalan yang semakin kompleks hanya dapat diatasi sampai ke akarnya oleh orang-orang yang juga dapat mengoptimalkan potensi hatinya. Orang-orang yang bermoral, beradab, dan berakhlak mulia.

 Jadi, berhentilah hanya mengagung-agungkan pikiran dan keterampilan! Marilah mulai juga dengan mengoptimalkan potensi tidak terbatas dari manusia, hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline