Rabu (31/08/2016) pagi hingga siang tadi, ada yang berbeda ketika kita memasuki kantor-kantor pemerintah di Jogja. Sebagian besar pegawai mengenakan pakaian tradisional khas daerah yang terbentang dari Gunung Merapi hingga Laut Selatan ini. Outfit yang tidak biasanya ini tak lain karena hari ini di Jogja diperingati sebagai hari disahkannya Undang-undang Keistimewaan (UUK) Nomor 13 tahun 2012 yang dilakukan pada 31 Agustus setiap tahunnya.
Dalam aturan tersebut, ada lima hal yang menjadi urusan utama keistimewaan: pertama, tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur. Poin kedua hingga kelima berturut-turut adalah tentang kelembagaan Pemda DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.
Sejak disahkan empat tahun yang lalu, menarik diamati bagaimana pelaksanaan aturan tersebut di lembaga setingkat provinsi yang telah ada sebelum Indonesia menjadi negara merdeka ini. Awalnya, usaha menggapai legal formal keistimewaan begitu dielu-elukan oleh berbagai komponen masyarakat di Jogja. Bahkan masyarakat turun ke Malioboro maupun jalan protokol lainnya dan menuntut pemerintah pusat memberi ketegasan tentang status DIY sebagai wilayah istimewa.
Namun alih-alih terus digemakan, gelombang reaktif justru muncul setelah UUK resmi disahkan pemerintahan yang lalu. Gerakan Jogja ora didol(Jogja tidak dijual), mural Jogja asat (Jogja kering), plesetan Jogja Berhati Nyaman menjadi Jogja Berhenti Nyaman, dan sejumlah kritik sosial berganti mengisi ruang-ruang publik Jogja. Di ranah maya, tentunya kita masih ingat bagaimana branding logo Jogja mendapat reaksi keras dari netizen yang kemudian dipelintir menjadi Togua. Logo yang akhirnya direvisi dan diserahkan kepada masyarakat untuk ramai-ramai urunan (iuran) ide ini akhirnya menjadi logo Jogja Istimewa seperti yang sekarang kita lihat.
Jogja yang menjadi magnet wisata dunia membuat eksposur tentangnya cepat mendapat respon dari khalayak. Bahkan mungkin karena wilayah spesial ini selalu mengundang kenangan, selalu saja ada yang mempedulikan bagaimana Jogja menggerakkan pembangunannya.
Pertanyaan pentingnya terkait momen hari ini adalah, sudah sampai di mana keistimewaan jogja? Apakah benar bahwa Jogja memang istimewa?
Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur DIY sering menjadi titik pusat ketika masyarakat mendiskusikan keistimewaan Jogja. Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini sangat ditunggu masyarakat dalam mengimplementasikan dan menjadi rujukan utama bagaimana membumikan tagline ‘istimewa’ di Jogja.
Dalam beberapa kesempatan, Sultan HB X sudah sangat tegas menginstruksikan bahkan menyindir para pembantunya di pemerintahan agar ‘Jogja Istimewa’ bukan hanya dijadikan sebagai wacana, melainkan direalisasikan dalam berbagai kegiatan nyata. Selasa (30/08/2016) kemarin, dalam sebuah acara pelantikan bahkan Sultan HB X secara gamblang menuturkan, “Penghargaan atas Keistimewaan DIY tidak cukup hanya dengan merawat kenangan, berpangku tangan sambil bernostalgia, tetapi harus membangkitkan semangat untuk cancut taliwanda-golong-gilig-saiyeg-saeka-kapti membangun kesejatian Jogja istimewa agar tercapai kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat”.
Sultan HB X sangat berharap agar para PNS di Pemda DIY mewujudkan kemampuan berinovasi, kecepatan responsif terhadap lingkungan strategis, dan peningkatan pelayanan masyarakat. “Inovasi, inisiatif, dan kemauan besar untuk maju pada PNS nantinya akan menggeser pola ‘nengga dawuh’ yang sering terdengar di lingkaran birokrasi”, Sultan menambahkan.
Jika Gubernur sebagai seorang pemimpin tertinggi di DIY sudah sering memberikan perintah demikian, lalu pertanyaan berikutnya apakah bahasa ini sudah diterjemahkan dengan baik oleh para bawahannya? Sudah sejauh mana praktik-praktik istimewa diterapkan di birokrasi yang akan menjadi role model masyarakatnya?
Membicarakan Jogja adalah memperbincangkan manusia. Ketika Jogja mengandalkan pariwisata, kebudayaan, dan pendidikan sebagai tiga sektor penopang perekonomian, semuanya bertumpu pada manusianya.
Ketika mendiskusikan manusia, dua hal yang menjadi pengaruh terbesar adalah ruang dan waktu. Namun sayangnya, orientasi pembangunan di Jogja bukan menempatkan manusianya sebagai subjek utama menghadapi dua faktor tersebut.