Lihat ke Halaman Asli

Arif L Hakim

TERVERIFIKASI

digital media dan manusia

Menebak Filosofi yang Pernah Dipelajari Pak Jokowi

Diperbarui: 23 Desember 2015   10:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jokowi saat kirab Jakarta Night Carnival (dok. pribadi)"][/caption]

Ndak usah serius-serius. Ayo makan dulu.”, suara khas nan medok Presiden Jokowi di ujung microphone memecah keheningan. Istana negara yang semula dianggap hanya bisa dijamah oleh orang-orang penting dan berkepentingan, seakan terbuka semua pintunya untuk seluruh rakyat Indonesia. Setidaknya hal tersebut yang saya rasakan saat bertandang ke istana negara memenuhi undangan Presiden Jokowi.

Kenangan tentang makan siang bersama orang nomor satu di Indonesia pada Sabtu (12/12/2015) tak bisa hilang begitu saja di ingatan saya. Ada rasa haru-bangga karena menjadi salah satu diantara 100 orang blogger yang diundang makan siang di istana. Selain itu, saya juga tertantang untuk memberikan perkiraan tentang filosofi yang dipelajari dan digunakan oleh Pak Jokowi setelah melihat beberapa sikap dan tutur katanya selama makan siang berlangsung.

Strategi makan siang mengingatkan saya dengan masa-masa saat Pak Jokowi menjadi Walikota Solo. Mungkin yang terkenal adalah lobi melalui meja makan yang pernah dilakukan oleh Pak Jokowi dalam merelokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Banjarsari. Tanpa lelah, 50-an kali jamuan makan dilakoni oleh sosok penggemar musik rock ini. Hingga pada akhirnya para PKL dengan tanpa paksaan mau direlokasi, bahkan lengkap dengan prosesi kirab yang tak biasanya dilakukan saat terjadi relokasi pedagang.

Seorang teman yang dulu pernah menjadi konsultan Pak Jokowi selama menjadi Walikota Solo, menyatakan bahwa “Itu salah satu bentuk penerapan konsepsi filosofis orang Jawa. Dipangku dulu, kalau sudah dipangku baru bisa diarahkan”.

Strategi jamuan makan masih digunakan oleh Pak Jokowi hingga kini. Saya mengira langkah ini adalah bentuk interpretasi bahwa beliau memegang filosofi "wong jowo iku yen dipangku mati". Filosofi tersebut dalam arti luas bermakna jika berbuat baik dan memanusiakan orang lain, maka orang tersebut akan berlaku lebih baik dan akan mudah diajak kerjasama dengan kita. Maka kini Pak Jokowi selaku presiden dengan beragam cara berusaha untuk memangku rakyatnya, dan kali ini memangku blogger.

Ajakan makan siang Pak Jokowi yang tidak membatasi undangan entah itu pendukungnya atau bukan, sekilas menunjukan bahwa Pak Jokowi sedang mengumpulkan massa. Saya setuju jika ada pendapat ini. Pak Jokowi sebagai presiden memang sedang berusaha menyatukan semua komponen bangsa dari berbagai latar belakang, tak terkecuali blogger. “Sebaiknya sudah tidak ada lagi istilah lovers atau haters. Kalau bisa sekarang hanya ada lovers, lovers negara kita.”, demikian kira-kira pesan Presiden.

[caption caption="Pak Jokowi bercerita santai dan hangat di hadapan kompasianer (dok. setneg)"]

[/caption]

Saya menebak, sosok yang dulunya ndak mikir jadi presiden ini sudah hatam belajar tentang filosofi jawa; nglurug tanpa bala (menyerang tanpa pasukan), menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan), sekti tanpa aji-aji (kesaktian/kewibawaan tanpa mengandalkan ajian/kekuasaan), dan sugih tanpa bandha (kaya tanpa didasari harta/duniawi).

Mengurus negara sebesar Indonesia tak cukup presiden seorang diri dan para jajaran pejabat di sekitarnya. Oleh sebab itu, presiden butuh massa dari semua elemen untuk bersama-sama terlibat dalam proses perbaikan di segala bidang. Saat makan siang, Pak Jokowi berkisah bagaimana ruwetnya menghadapi 42.000-an aturan yang ada di negeri ini. Di sisi lain, persaingan antar negara yang terjadi sudah di depan mata. Maka yang dilakukan Pak Jokowi sebagai pemimpin bangsa Indonesia memang sebaiknya menyatukan seluruh kekuatan agar semakin siap untuk bersaing dengan bangsa lain. Ketika sudah bersatu, tak perlu menyerang dengan pasukan. Segenap kekuatan akan merasa terpanggil untuk berjuang. Indonesia yang ingin menjadi negeri yang memiliki wibawa di antara komunitas internasional juga tak perlu menjadi negara adikuasa. Karena kewibawaan akan muncul salah satunya ketika keharmonisan bernegara telah terjadi.  

Saya agak terkejut saat Pak Jokowi mengulangi pernyataannya seperti yang ramai ditulis di berbagai media; “Saya tidak masalah dibilang keras kepala, gila, atau koppig. Tapi kalau membawa Presiden atau lembaga negara lainnya, itu tidak bisa.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline