[caption caption="Anak-anak Kepulauan Karas saat sedang mandi air garam"][/caption]
Dua tahun yang lalu, saya ditugaskan oleh lembaga tempat saya bekerja untuk terbang ke Nabire, Papua. Pilihan tugas jatuh kepada saya karena kata atasan saya masih muda, biar lebih mengenal Nusantara dan menambah jam terbang mengelola hubungan dengan stakeholders, selain karena saya pernah bertugas di Papua menjadi alasan kuat berikutnya.
Tugas yang diamanatkan kepada saya sebenarnya tertunda, karena beberapa minggu sebelum saya berangkat ada konflik di sana. Informasi dari berbagai media yang dihimpun tentang konflik yang terjadi membuat keberangkatan akhirnya diundur. Tugas luar kota yang biasanya diurus oleh dua orang pun diringkas untuk seorang saja, karena biaya yang relatif lebih mahal untuk menuju Papua.
Saat itu pesawat yang saya naiki berputar 3 kali menghindari badai di sekitar Teluk Cenderawasih sebelum akhirnya landing dengan selamat di bandara Nabire. Sesaat setelah saya menjejakkan kaki pertama kali di Nabire, saya langsung diajak sopir yang mengantar saya berkeliling sebentar menilik keadaan kota. Kondisi telah kondusif saat kami melintas. Tidak ada keributan sama sekali, bahkan bekasnya pun tidak saya jumpai.
Saat pelatihan yang mempertemukan guru, kepala sekolah, dan perwakilan Dinas Pendidikan berlangsung, banyak hal menarik yang saya amati. Rupanya akulturasi telah terjadi di sini. Meskipun tak sesulit Bintuni yang hanya bisa disinggahi pesawat jenis cessna, Nabire sebenarnya tidak semudah diakses seperti Jayapura dan Sorong. Namun Nabire sudah ditinggali oleh orang Bugis, Toraja, apalagi Jawa. Bermacam suku dari berbagai daerah di Papua juga menetap di kota ini, tidak hanya pribumi Nabire. Selain dari Paniai dan warga suku Dani, beberapa warga asal Kaimana dan Ayamaru juga saya temui.
[caption caption="Mereka berbeda suku dan agama, tetapi tetap rukun dan damai di Papua (dok. pribadi)"]
[/caption]
Melihat harmonisnya peserta pelatihan, saya jadi teringat Fakfak, sebuah kota tua di Papua yang pernah saya tinggali setahun sebelumnya. Kota dengan julukan kota pala tersebut sangat plural. Tak jarang saya naik ojek dengan sopir dari Jawa Timur. Sering juga saya membeli sembako dari Mama Banda. Bahkan saya tinggal di rumah yang melafalkan bahasa Gorom (sebuah daerah di Maluku) dengan sangat fasih.
Fakfak menganut prinsip ‘satu tungku tiga batu’, satu keluarga bisa tiga agama. Di Fakfak saya sering menemui satu keluarga besar dengan nama marga yang sama, tapi agamanya berseberangan. Sudah ratusan tahun kota ini telah deal dengan perbedaan.
Beberapa praktek kerukunan saya alami dan saksikan sendiri saat berada di Papua. Saya masih sangat ingat, saat menumpang untuk menginap di rumah orang keturunan Kei (Maluku) yang telah lama menetap di Papua. Kami bertemu baru beberapa kali, tetapi orang ini berbaik hati memberi tempat menginap sementara kepada saya di rumahnya. Saat saya selesai sholat di kamar yang saya tempati, saya baru sadar bahwa yang saya tumpangi ini bukanlah seorang muslim, karena dengan gamblang saya melihat salib yang rapi terpasang di dinding. Namun tak ada cekcok apalagi pertikaian. Semua aktivitas selama saya menumpang di rumah ini berjalan lancar. Sampai sekarang kami masih berkirim kabar. Terakhir saat saling mengirim ucapan lebaran beberapa hari yang lalu.
Selama di Papua, saya juga pernah menjumpai seorang kepala sekolah asal Biak yang menjadi penganut Kristen yang taat. Setiap kali menjelang sholat jumat, kepala sekolah ini justru mengingatkan murid-muridnya yang muslim untuk segera bergegas ke masjid.
Cerita lain tentang kerukunan di Papua yang saya saksikan adalah saat ada seorang teman yang beragama katolik pernah diberi tumpangan oleh saudaranya yang muslim menyeberang laut 2 jam, kemudian diantar menggunakan sepeda motor menembus hujan agar tidak terlambat hadir di acara misa di sebuah gereja.