E-money mulai mengisi dompet selain kartu ATM+debit dan uang tunai (dok. pribadi)
Telah lama saya mendengar bahwa telah muncul alat pembayaran berjenis e-money sebagai pengganti uang tunai dalam transaksi. Kepraktisan dan keamanan menggunakan e-money menjadi kalimat sakti bagi masyarakat agar segera beralih memakainya.
Secara makro, pertumbuhan e-money relatif berkembang cepat selama beberapa tahun terakhir meskipun masih kalah jauh dibanding dengan alat pembayaran non tunai lainnya seperti kartu kredit apalagi kartu ATM+debit. Pembahasan tersebut sudah sempat saya tuliskan di kompasiana dengan judul Berani dan Mantapkan Diri Menerapkan Less Cash Society.
Perihal pengalaman menggunakan e-money, saya dan keluarga baru mencobanya sejak tahun lalu. Maklum saja, penetrasi e-money di Jogja belum sebanyak di Jakarta. Saat itu, sebelum membelanjakan e-money pertama kali di sekitaran Jogja, kami mencari informasi dari berbagai sumber tentang lokasi-lokasi yang bisa menggunakan e-money. Mulai dari browsing ke berbagai laman di internet, mengecek pada website penerbit e-money, hingga bertanya kepada handai taulan yang kebetulan bekerja di lembaga penerbit e-money.
Daftar merchant salah satu e-money di Jogja (http://icanjunior.blogpsot.com)
Setelah mencari berbagai informasi, akhirnya kami putuskan untuk hunting secara langsung berbagai merchant yang memfasilitasi e-money. Hasil perburuan kami membuahkan kesimpulan sederhana; sebaran merchant yang sudah bisa menggunakan e-money di Jogja belum merata. Katakanlah sebuah toko modern di lokasi A sudah bisa menggunakan e-money, tapi toko modern yang sama di lokasi B belum bisa. Akibatnya, ketika bertransaksi menggunakan e-money harus di merchant lokasi itu-itu saja. Lokasi-lokasi yang disebutkan sudah bisa menggunakan e-money untuk bertransaksi pun tidak semuanya masih menyediakan fasilitas e-money. Seperti saat saya berada di bengkel AHASS Srandakan, Bantul untuk mengganti ban sepeda motor, pengelola bengkel menyatakan bahwa dulunya memang ada EDC e-money, namun karena penggunanya sangat sedikit, dari pihak penerbit akhirnya menarik mesin pembaca e-money tersebut.
Hasil penelusuran saya dan keluarga seolah diamini oleh fakta lain tentang e-money di Jogja. Hingga awal tahun ini, sebuah sumber mengatakan bahwa warga Jogja relatif masih asing dengan e-money. Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Arief Budi Santoso, secara terang-terangan juga menyatakan penggunaan uang elektronik di Jogja masih rendah karena belum didukung infrastruktur yang memadai. Kemudian, pola pikir pembayaran dengan uang tunai juga masih melekat di kalangan masyarakat Jogja.
Meskipun demikian, cara mengetahui bahwa sebuah merchant sudah menyediakan layanan e-money atau belum relatif mudah, kita tinggal melihat di bagian depan merchant, apakah ada logo produk e-money atau tidak.
Dari sisi kepraktisan, e-money memang relatif lebih praktis dibanding uang tunai. Setiap e-money memiliki saldo maksimal Rp 1 juta, relatif lebih ringkas di dompet karena bentuknya hanya satu kartu dibanding membawa uang tunai dengan jumlah yang sama. Belanja menggunakan e-money menurut saya juga lebih bisa diatur karena tidak sampai kebablasan membuat kantong kering. Selain itu, bertransaksi menggunakan e-money juga tak perlu takut uang pengembalian dibulatkan ke atas. Artinya berapapun nilai transaksi, selama masih ada saldo di dalam e-money maka pengembalian akan dilakukan secara presisi.
Ada beberapa kejadian unik saat kami menggunakan e-money. Yang paling sering adalah, tak sedikit kasir di beberapa merchant mengira bahwa e-money adalah kartu debet+ATM. Saat bertransaksi, cara membaca e-money dengan digesek, bukan di-tap, padahal mesinnya saja berbeda. Melihat kejadian seperti ini, mungkin perlu dilakukan sosialisasi dari merchant kepada para petugas atau kasir dalam melayani pengguna e-money agar lebih cermat lagi. Di sisi lain, EDC e-money juga masih terasa ‘egois’ karena alat yang bisa digunakan hanya untuk e-money yang diterbitkan, belum bisa lintas platform.