Jam 10 malam, sejenak melintas di sebuah jalan ibukota provinsi ini, lampu kota yang temaram, mengajak langit bersemayam. Jam 10 malam, terlalu pagi bagi para pedagang nasi goreng di alun-alun, berharap masih ada yang lapar dan dengan sengaja atau tidak, bersedia membeli barang sepiring dagangannya. Jam 10 malam, pintu gerbang kos putri sudah mulai tertutup rapat, dan segala macam aktifitas di dalamnya pun tak terlihat. Jam 10 malam, parkiran klub-klub malam mulai berduyun-duyun dipenuhi kendaraan-kendaraan pelanggan. Dengan sejuta alasan mereka mulai berdandan, bedak tebal dan ber-rok mini serta sepatu hak tinggi mulai nampak ke permukaan di balik cahaya remang dan musik2 elektro-techno yang berkumandang. Jam 10 malam, lorong-lorong gang gelap seolah menandai sebuah pasar siap dibuka dan memperlihatkan penjual yang siap menjajakan dagangannya. Pembeli dari berbagai daerah datang dengan bermacam argumen beserta peliknya masalah yang menghantui dunianya berjalan menyusuri lorong gelap di sana. Jam 10 malam, santri-santri mulai meletakkan kopyah dan baju taqwanya, selepas melalui hari yang panjang dengan berbagai wejangan dan ajaran dari para syeikh dan ustad di sebuah pesantren. Saat yang tepat untuk melancarkan hafalan, atau sekedar bercanda gurau dengan teman, atau mencari warung yang menjual makanan. Ataupun berkelana mencari bantal di setiap bilik kamar dan mulai berbaris rapi menyusun shaf tidur diantara deretan santri lainnya. Jam 10 malam, mungkin seorang ibu masih memegang kipas dan meninabobokkan anaknya. Sesekali menimpuk nyamuk yang dengan tega menggigit daging tak berdosa, meskipun nyamuk juga ditakdirkan mengais rezeki dari gigitannya. Jam 10 malam, di sebuah kampus, mahasiswa sedang berdebat tentang solusi sebuah peristiwa yang dianggap merugikan rakyat. Debat yang berawal dari analisis ilmiah, berlandaskan teori-teori yang didapat selama kuliah, berlangsung dengan nada idealisme dan intelektualitas yang menyala-nyala. Jam 10 malam, masih ada dua muda-mudi berboncengan di jalan, dengan tangan terikat kencang dipinggang, sang mudi menempel ketat pada tubuh sang pujaan. Dinginnya angin malam seolah tak mampu menyingkirkan asap-asap kendaraan yang mengganggu saluran pernafasan. Jam 10 malam, di sebuah terminal masih ada calo yang setia menunggu penumpang, masih saja rokok di tangan dengan berharap ada penumpang yang datang dan dengan sigap si calo menawarkan jasa yang dapat dikonversikan menjadi uang. Jam 10 malam, pintu mall mulai berderit pertanda kloter terakhir shift malam akan pulang, pakaian dinas khas yang melekat pun akan segera menempati gantungan, dan dengan capek dan peluh pergi ke tempat peraduan. Jam 10 malam, sang dalang baru warming-up sebelum pertunjukkan semalaman. Si sinden masih membetulkan sanggul dan aksesoris pendukung untuk menarik penonton yang sebagian besar adalah penikmat tetap cerita pewayangan. Jam 10 malam, terkesan belum apa-apa dibanding jam 12 malam, sebuah paradigma yang mengantar kita untuk melupakan persiapan. Jam berapapun anda beraktifitas, tetaplah berpikir apa yang selanjutnya akan dilakukan. Jam 10 malam, 12 malam, 10 siang,atau jam berapapun, semua adalah waktu yang sama-tapi keadaanlah yang berbeda. Jokja-tahun 09-jam 10-tanggal 11-bulan 12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H