[caption id="attachment_308552" align="aligncenter" width="576" caption="Candi Borobudur, mahakarya leluhur yang menjadi kebanggaan Indonesia (dok. pribadi)"][/caption]
Relief burung berkepala dua menceritakan tentang perbedaan dalam satu badan. Kepala atas menikmati buah dan makanan terbaik, sementara kepala bagian bawah mengeluh karena selalu saja mendapat sisa-sisa makanan. Saat kepala bawah memberontak, kepala atas justru balik bertanya dan membalas, “Apa bedanya? Bukannya semua yang kita makan masuk ke perut yang sama?”.
Suatu ketika, kepala bawah bukan hanya memakan sisa makanan kepala atas, melainkan melahap jamur payung yang beracun. Karena masuk di perut yang sama, alhasil burung tersebut mati.
Saya jadi teringat cerita relief burung berkepala dua tersebut gara-gara ulasan Om Dhave Dhanangyang menuliskan tentang Para Pelintas Batas Candi Borobudur. Apa yang menarik? Saya kira ada yang menggelitik saat ada sesuatu yang berjalan kurang ideal. Kemudian memunculkan pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi di balik Candi Borobudur, kok sampai muncul fenomena pelintas batas? Bagaimana kondisi nyata sosial-ekonomi di kawasan Borobudur? Apakah ada ketimpangan di belakang karya megah yang tiap tahunnya dikunjungi jutaan wisatawan tersebut?
Candi Borobudur yang menjadi obyek vital di Indonesia telah menghadirkan banyaknya kepentingan dan kewenangan di dalamnya. Mulai dari level individu, RT, RW, Dusun, Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi, Polisi Pariwisata, BUMN, Kemenparekraf, Kemdikbud, hingga level dunia seperti UNESCO. Belum lagi jaringan-jaringan atau kelompok sosial lainnya yang mungkin masih sederet jumlahnya.
Setiap lembaga yang hadir pasti punya tujuan mulia. Namun realitanya, rawan sekali terjadi program yang tumpang tindih atau terjadi gesekan dalam pelaksanaan suatu program, terutama program-program kemasyarakatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang ada di Borobudur.
Contoh pertama adalah program Pemerintah Propinsi dengan program klaster pariwisata yang ada di Borobudur. Melalui program yang telah dilaksanakan sejak 2005, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah mengembangkan beberapa bidang seperti bidang pariwisata, pertanian, industri kecil, seni budaya maupun kuliner.
[caption id="attachment_311831" align="aligncenter" width="640" caption="Paket Tilik Ndeso, salah satu program Klaster Pariwisata Borobudur"]
[/caption]
Berikutnya adalah program yang dijalankan oleh Kemenparekraf melalui DMO (destination management organization) Borobudur. Program DMO yang telah berjalan sejak tahun 2011 ini memiliki tujuan untuk mewujudkan pengelolaan kepariwisataan yang terpadu (integrated tourism) yaitu pengembangan pariwisata terpadu, memadukan seluruh sektor, aktor, dan wilayah dalam pengembangan destinasi pariwisata.
Sementara itu, Batik Kawasan Borobudur menjadi salah satu model pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang sering diunggulkan PT Taman selain program kemasyarakatan lainnya. Program ini berawal dari kerjasama dengan PT Taman sebagai BUMN yang menjadi operator zona II kompleks Candi Borobudur dengan masyarakat sekitar candi. PT Taman saat itu membutuhkan sarung batik yang digunakan oleh wisatawan saat akan menaiki Candi Borobudur. Sarung batik tersebut kemudian diperoleh dari masyarakat sekitar Candi Borobudur yang memproduksi sarung batik yang tergabung dalam kelompok Batik Kawasan Borobudur.
[caption id="attachment_311835" align="aligncenter" width="640" caption="Program Batik Kawasan Borobudur"]
[/caption]
Selanjutnya yang terbaru adalah program dari UNESCO yang menyediakan galeri gerabah di Desa Karanganyar. Melalui galeri tersebut, UNESCO menyatakan siap mendukung Indonesia dalam membangun industri kreatif dan budaya, salah satunya melalui lokakarya peningkatan kapasitas dan promosi terhadap barang-barang yang dibuat secara tradisional dengan menggunakan sumber daya lokal. Melalui galeri di Dusun Nglipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur tersebut juga diharapkan mampu menyediakan lapangan kerja dan peluang pelatihan bagi para pengrajin dan pekerja seni lainnya.
Jika begitu banyak pihak yang melaksanakan program di kawasan Borobudur, bukankah idealnya masyarakat Borobudur lebih cepat makmur karena semakin banyak program yang mengalir ke masyarakat? Lalu mengapa masih ada fenomena pelintas batas, atau masih saja ada kelompok masyarakat yang menjadi pedagang asongan yang mencapai ribuan orang yang ada di kompleks Candi Borobudur?
[caption id="attachment_311960" align="aligncenter" width="640" caption="Para pedagang yang melintas batas Candi Borobudur"]
[/caption]
Saya yakin semua lembaga yang berinteraksi di Borobudur memiliki idealisme awal yang baik. Namun biasanya, jika komunikasi dan koordinasi kurang lancar, sensitivitas akan meningkat, baik dari pemberi maupun penerima program. Jika ada satu kelompok yang terkena intervensi suatu program, kelompok lain cenderung tak mau kalah.
Dari berbagai badan yang berwenang di Candi Borobudur, ada hal menarik yang sering jadi bahan pembicaraan. Isu yang santer terdengar adalah PT Taman yang didirikan atas amanat Keppres No 1 tahun 1992 dianggap kurang berkontribusi kepada kawasan sekitar, dan akibat Keppres itu juga dianggap telah merugikan Pemkab Magelang karena PAD mengalami pengurangan hingga Rp 4 miliar per tahunnya.
Akan tetapi, hasil judicial review yang diajukan oleh Pemkab Magelang tak menemui harapan, Mahkamah Agung memutuskan pajak hiburan Candi Borobudur dihapus. Artinya, PT Taman tidak diperkenankan lagi memberikan pajak yang setiap tahun biasanya disetor ke Pemkab Magelang sebesar Rp 4 miliar.
Dalam penelitian Devi Roza Krisnandhi Kausar yang membahas tentang dampak sosial-ekonomi pariwisata di Borobudur, disebutkan bahwa dulu PT Taman tidak secara spesifik membuat tujuan terukur terhadap program yang berhubungan dengan pengembangan masyarakat (community development) dalamcompany objective (seperti tertulis dalam laporan tahunan perusahaan periode 2005). Kontribusi yang kerap dilakukan kepada masyarakat lebih banyak bersifat charity seperti menyumbang sembako, pemberian beasiswa, dan pelayanan kesehatan. Pada saat itu PT Taman seolah menganggap telah selesai kewajibannya setelah membayar pajak sebesar Rp 4 Miliar kepada Pemkab Magelang.
Lalu, benarkah sampai saat ini PT Taman memang kurang berkontribusi terhadap masyarakat sekitar? Apakah pernyataan itu sebuah fakta atau hanya rumor belaka?
Saat lokakarya pengelolaan kawasan Candi Borobudur yg diselenggarakan LIPI beberapa waktu yang lalu, manajemen PT Taman menyebutkan bahwa kontribusi kepada masyarakat sekitar Candi Borobudur setiap tahunnya mencapai nilai yang relatif besar. Angka kontribusi yang langsung hadir di hadapan masyarakat sudah menembus angka Rp 6,38 Miliar, lebih besar jika dibandingkan melalui pajak ke Pemkab sebesar Rp 4 Miliar. Proporsi terbesar dari Rp 6,38 Miliar tersebut digunakan untuk perekrutan tenaga kerja di Candi Borobudur yang sampai dengan 2013 mencapai lebih dari Rp 1,7 Miliar. Artinya, sebagian masyarakat sekitar Candi Borobudur juga dilibatkan dalam pengelolaan operasional PT Taman, bukan hanya sebagai penonton. Polemik tentang kontribusi PT Taman terhadap masyarakat diakui oleh manajemen sebagai akibat dari kurang maksimalnya komunikasi dan koordinasi baik kepada stakeholder maupun kepada seluruh masyarakat secara umum.
Selain dana tersebut, PT Taman juga memberikan dana konservasi yang nominalnya setiap tahun sebesar 25% dari laba perusahaan. Pada periode 2013 kemarin, PT Taman telah memberikan Rp 7,9 Miliar untuk dana konservasi melalui berbagai project pelestarian Dirjen Kebudayaan.
Melihat kasus ini, PT Taman rupanya mengalami masalah klasik; hubungan yang kurang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat. Masuknya modal ke suatu daerah dianggap menjadi legitimasi atas kewajiban untuk memberikan kontribusi seluruhnya kepada daerah.
Seperti yang termuat dalam buku 'KAIL SAJA TIDAK CUKUP: Catatan Seorang Praktisi CSR’ karangan Harry Nuriman,yang dialamiPT Taman seperti dialami beberapa perusahaan lainnya; perusahaan seolah berubah menjadi ‘mesin ATM’, bahkan menggantikan fungsi pemerintah dalam mengurusi daerahnya.
Belajar dari kasus Candi Borobudur, sebaiknya pengelolaan pariwisata di suatu daerah tidak asal-asalan; asal ada obyek atau atraksi wisata, asal ada peluang peningkatan pendapatan masyarakat, asal bisa dijadikan sumber PAD, kemudian sebuah tempat dijadikan sebuah destinasi wisata. Alangkah lebih baik jika pengelolaan pariwisata juga memperhatikan dampak-dampak kelestarian suatu obyek wisata, dampak sosial yang seyogyanya mampu memangkas ketimpangan masyarakat, dan dampak pengambilan kebijakan yang sebaiknya bisa mengayomi program-program peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Pasca perayaan Waisak bulan Mei yang lalu, pengelolaan kompleks Candi Borobudur semakin memprihatinkan, terutama tentang menjamurnya pedagang asongan yang seolah tak kalah membludak dengan ramainya pengunjung. Melihat fenomena tersebut, hanya harapan yang bisa terlontar dalam benak,semoga pengelolaan Borobudur tidak senyatanya menjadi terjemahan dari relief burung berkepala dua. Masyarakat yang sudah menjadi bagian kelompok kepala atas terus-terusan menikmati ‘makanan segar’, sementara masyarakat yang masih tergabung dalam kelompok kepala bawah masih saja menikmati sisa-sisa makanan kepala atas. Jika fenomena ini terus terjadi, maka perlu diwaspadai, semoga saja kepala bawah tidak memakan ‘racun’ berupa perbuatan atau yang lainnya, yang akan masuk dan membahayakan di perut yang sama.
Referensi:
http://bisniswisata.co/view/kanal/?open=1&alias=berita&id=4664
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H