Lihat ke Halaman Asli

Arif L Hakim

TERVERIFIKASI

digital media dan manusia

Merayakan Kemenangan Nusantara ala Gending Djaduk

Diperbarui: 13 November 2019   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu penampilan Djaduk Ferianto dalam Gending Djaduk. dokpri

“Saya lulusan seni rupa, tetapi jarang melukis. Kemampuan saya adalah bermain musik. Anggap saja saya melukis keindahan Nusantara melalui bunyi-bunyian dalam komposisi Gending Djaduk.”, begitu kira-kira ungkapan Djaduk Ferianto dalam pentas Gending Djaduk semalam.

Acara yang diadakan sebagai peringatan ulang tahun ke-50 seniman asal Bantul tersebut digelar di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) setelah sebelumnya diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Keistimewaan pertunjukan Gending Djaduk yang digelar tepat pada 17 Agustus 2014 ini juga menandai keinginan Djaduk untuk belajar kembali menjadi manusia Indonesia dari sejarah panjang Nusantara melalui musik. "Tak ada kata berhenti untuk selalu belajar, usia 50 tahun menjadi kelahiran kembali. Semoga saya tidak tua, tapi kembali muda.", seru putra bungsu seniman Bagong Kussudiardja.

Djaduk Ferianto saat menceritakan Gending Djaduk (dok. pribadi)

Selama lebih kurang 2 jam, pagelaran musik yang kaya dengan citarasa Nusantara dihadirkan Djaduk dengan berbagai perpaduan nuansa musik  jazz, rock, funk, dan lainnya melalui kolaborasi cantik  bersama KuaEtnika, kelompok musik yang didirikannya 1996.

Piknik ke Cibulan menjadi repertoar pertama. Lagu yang dulunya dinyanyikan penyanyi tarling Indramayu-an Hj. Dariah ini membuka pertunjukan yang seolah mengantar penikmat musik menjelajahi penjuru Nusantara melalui bebunyian.

Renungan Djaduk tentang kondisi Jawa jaman sekarang mengilhami dirinya menyusun Jawadwipa sebagai repertoar berikutnya. Sebagaimana ramalan Jayabaya yang menyebutkan "Jawa kelangan Jawane", Djaduk menganggap komposisi ini sebagai 'jalan kembali' kepada leluhurnya yang berasal dari Jawa.

Nuansa musik Bukit Barisan kemudian menyeruak di panggung. Inilah representasi pulau emas yang pada masa jayanya sering disebut Swarnadwipa. Djaduk melengkapi komposisinya dengan ornamen musik Sumatera khas Minang dan Batak pada repertoar ini, setelah sebelumnya mengungkap inspirasi kebudayaan bahari yang didapatkannya melalui repertoar berjudul Pesisir dan Angop (sebuah repertoar yang terinspirasi dari cara menguap anggota DPR).

Djaduk dan KuaEtnika saat menyajikan repertoar dalam Gending Djaduk (dok. pribadi)

Irama ceng ceng Bali selanjutnya muncul mengiringi repertoar berjudul Barong. Djaduk bercerita bahwa komposisi ini menjadi caranya melukis keindahan saat suatu sore di Desa Singapadu-Bali, melihat Mas Dibya (saat itu rektor ISI Denpasar) menari dengan topeng.

Djaduk dan KuaEtnika kemudian membawa penikmat musik etnik ke persilangan sekaligus pertemuan keindahan Nusantara melalui repertoar Molukken. Jika pertunjukan Gending Djaduk di Jakarta menghadirkan Glenn, saat pentas di Jogja Djaduk mengajak Paksi, penyanyi muda berbakat asal Jogja.

Melalui aransemen yang indah, lagu 'Kole-Kole' disuguhkan sebagai gambaran kemerduan teluk Ambon, pasir dan pantai, dan melodi-melodi serta nyanyian khas Maluku, yang merekam sejarah perdagangan dari pra kolonial hingga era milenium seperti sekarang.

Djaduk kemudian memanggil kakak sekaligus supervisi pertunjukan, Butet Kertaredjasa, ke atas panggung. Dengan gayanya yang khas, Butet melengkapi sindiran dan sentilan yang sebelumnya sudah memenuhi ruangan. Kemudian seniman yang sering bermonolog tersebut memberi wejangan atas ulang tahun adiknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline