Lihat ke Halaman Asli

Arif L Hakim

TERVERIFIKASI

digital media dan manusia

Ngalap Berkah dari Ngeblog di Kompasiana

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.kompasiana.com

[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="www.kompasiana.com"][/caption]

Tulisan berikut agak panjang, harap berkonsentrasi :)

Terhitung sampai dengan Januari 2015 nanti, saya telah genap 5 tahun berdomisili di Kompasiana. Masih ingat rasanya saat dengan culunnya pertama kali naik ke permukaan Kompasiana, masih belajar mengatur susunan kata, belum tahu bagaimana caranya meng-upload foto yang representatif, dan belum begitu akrab berinteraksi dengan kompasianer lainnya. Seingat saya jaman itu Babeh Helmi yang seolah membimbing saya, sesekali saya juga mengintip posting-annya yang senang membahas komik/kartun humor dan mistis. Atau menoleh ke Fikri, teman kuliah saya yang aduhai jagonya dalam menulis fiksi.

Ada banyak hal yang tak terduga yang saya dapatkan dari Kompasiana. Secara kronologis, saya mencoba membuat highlight selama hampir lima tahun bercengkerama di Kompasiana yang berujung ke aktivitas lain yang bukan hanya bagi saya berkahnya, tapi juga berdampak bagi masyarakat lebih luas manfaatnya.

Tahun pertama di Kompasiana saya isi dengan beragam tulisan seputar aktivitas bersama masyarakat Kaliadem saat Gunung Merapi meletus menjelang akhir 2010. Saya tak pernah menyangka apa yang saya tuliskan di Kompasiana akan berguna, hingga saat sebuah pesan masuk, dan bekenalan dengan Mbak Anaz (yang saya panggil Mas :D) dan Mas Trie. Mbak Anazkia dan teman-teman saat itu sedang mengumpulkan tulisan-tulisan tentang Merapi, untuk dibukukan dan seluruh hasil penjualannya didonasikan untuk saudara-saudara yang terkena bencana.

Buku dengan format independent publisher pun akhirnya lahir. Di buku inilah pertama kali termuat nama saya di dalam sebuah buku sebagai salah satu penulisnya. Dari sini pula saya mengenal Om Dhanang Dhave, seorang blogger, ahli biologi, dan juga fotografer yang sebentar lagi menemani Om Arbain dalam diskusi di Kompasianival 2014.

[caption id="" align="aligncenter" width="577" caption="Buku tentang Merapi (dok. Mbak Anazkia)"][/caption]

Setahun mengawali langkah di Kompasiana membuatku terkesan. Ternyata hanya berawal dari tulisan sederhana di Kompasiana tentang tempat wisata Kaliadem yang terkena letusan Merapi, membuahkan pertemanan yang hangat dengan canda-tawa, hingga berbuah karya yang bermanfaat untuk masyarakat korban bencana.

Setahun kemudian, saya menyertakan beberapa link tulisan di Kompasiana sebagai bahan pertimbangan seleksi program Indonesia Mengajar. Alhamdulillah saya lolos menjadi pengajar muda. Berikutnya pada pertengahan 2011 saya ditugaskan ke SDN Tarak yang terletak di pulau kecil di sudut Fakfak, Papua Barat.

Lokasi tempat bertugas cukup terisolir secara geografis. Kampung yang saya tempati tanpa sinyal. Minim listrik. Jangkauannya pun jauh. Dan tak ada sarana transportasi umum (public boat). Kondisi ini jelas membatasi gerak saya untuk ngeblog di Kompasiana.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Bersama anak-anak hebat SDN Tarak, Fakfak (dok. pribadi)"][/caption]

Tapi di Pulau Tarak inilah saya seolah menemukan lautan inspirasi. Dalam satu bulan setidaknya saya menghasilkan 4-8 tulisan lengkap dengan foto-fotonya.

Setiap sebulan sekali saya ke pusat Kabupaten Fakfak (3-5 jam perjalanan laut, tergantung kondisi cuaca) untuk melakukan koordinasi, membeli bermacam keperluan, dan mendapatkan sinyal :D. Momentum sebulan sekali ini juga sering saya gunakan untuk ngeblog di Kompasiana, yang menjadi salah satu media pelampiasan kegalauan saya.

Saya tak kehabisan akal meskipun hanya sebulan sekali mengakses Kompasiana di warnet yang biaya per 1 jam-nya Rp 10.000,-. Saat itu saya sering memanfaatkan fitur scheduled post. Tulisan yang saya hasilkan ketika berada di pulau, saya setting agar otomatis terpublikasi seminggu sekali. Alhasil, rumah saya di Kompasiana seolah-olah selalu ada isinya setiap minggu, walaupun tak bisa berbalas komentar secara live, karena untuk membalas komentar harus menunggu bulan berikutnya saat ke kota :D.

Pada semester pertama ketika saya di Papua Barat, saya kembali menemui ketidakterdugaan. Gara-gara tulisan berjudul “sinyal itu mahal, jendral!” yang saya publish di Kompasiana, saya berkenalan dengan Om Hazmi Srondol, seorang humoris yang sangat gemar menulis. Om Srondol ternyata menindaklanjuti aspirasi masyarakat untuk bisa berkomunikasi. Proses brainstorming, perumusan strategi dalam lobbying, hingga pelaksanaan teknis kami lakukan melalui private message Kompasiana. Hingga, pada akhirnya obrolan kami berhasil, dan sepenuhnya nyata. Masyarakat di pulau tempat saya bertugas akhirnya bisa menikmati kemerdekaan berkomunikasi layaknya saudara-saudara di Jawa.

Geger tentang hadirnya sinyal telekomunikasi pun menggema di berbagai area di Kota Pala, hingga sampai ke hadapan wakil presiden Indonesia. Bahkan, bulan lalu saya mendengar kabar bahwa cerita tentang sekelompok masyarakat Papua yang didokumentasikan di Kompasiana ini sudah pernah dipresentasikan di Barcelona, Spanyol.

Menulis di Kompasiana ternyata berdampak luar biasa!

Berlanjut di tahun kedua, saya kembali diberkahi beragam anugerah melalui wasilah Kompasiana. Terdengar kabar bahwa para blogger bergotong-royong mengumpulkan buku. Beberapa nama besar seperti Mbak Melani Soebono, Om Matahari Timoer, dan kawan-kawan bergerak untuk membantu ketersediaan bahan bacaan anak-anak SDN Tarak melalui gerakan Blogger Hibah Sejuta Buku.

Alhamdulillah, meskipun kondisi ruang kelas terbatas, anak-anak di pulau tempat saya bertugas bisa menikmati petualangan pengetahuan dari buku-buku yang dikirim para blogger dan kompasianer.

Tahun 2012 juga menjadi salah satu pintu bagi saya untuk berinteraksi lebih jauh dengan kompasianer lainnya. Saat itu saya diculik ke sebuah grup bernama Kampret (Kompasianer Hobi Jepret). Saya kerap stalking dan mengunduh ilmu dari para jawara fotografi yang ada di Kompasiana. Ilmu saya juga semakin terasah ketika Kampret membuat WPC (weekly photo challenge) secara periodik (“Dear kampretos, mari bikin semacam WPC lagi!”).

Beberapa catatan tentang traveling di tempat-tempat eksotis di Fakfak juga saya tulis di masa-masa itu. Di antaranya tentang ketakjuban saya pada kondisi alam Kepulauan Karas, komposisi alami Wersuri, eksotisme taman manggi-manggi, maupun cantiknya Kampung Arguni.

[caption id="" align="aligncenter" width="491" caption="Kampung Tarak, Kepulauan Karas, Fakfak, Papua Barat (dok. pribadi)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="518" caption="Pulau-pulau kecil saat menuju Arguni, Fakfak (dok. pribadi)"][/caption]

Kemudian, saya dibuat terkejut saat Bupati Kabupaten Fakfak tiba-tiba mengundang saya dan membahas tentang perkembangan pariwisata di sana. Alasannya, karena saya kerap menulis di Kompasiana!

Berikutnya, aktivitas menulis di Kompasiana ini juga sangat bermanfaat bagi tim riset dari sebuah stasiun televisi nasional yang kemudian dijadikan bahan atau materi saat liputan di Fakfak. Kepulauan yang dulunya antah berantah untuk pertama kalinya menghiasi layar media yang disiarkan sejagad nusantara.

Bagi saya masa transisi 2012-2013 menjadi masa yang sunyi di Kompasiana. Setelah purna tugas dari Papua Barat, saya mendapatkan amanah untuk sering-sering berkunjung ke berbagai remote area di Indonesia. Kesempatan untuk mempublikasi tulisan terbentur dengan padatnya jadwal pulang-pergi dari satu daerah ke daerah lainnya. Fitur scheduled post di Kompasiana juga sudah tidak ada. Ditambah pengembangan versi mobile Kompasiana yang belum bersahabat. Sehingga tumpukan foto dan rangkaian cerita hanya tertimbun di drive komputer tanpa bisa mengudara di Kompasiana. Hanya satu tulisan tentang eksotisme desa wisata Kembang Arum yang bisa saya publikasikan terkait kepariwisataan.

Namun semangat untuk tetap ngeblog kembali terbakar saat saya menyempatkan diri hadir di Kompasianival 2013. Di acara inilah saya bertemu dengan Kompasianer yang selama ini hanya bertatap muka lewat tulisan atau sosial media.

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Bersama para kompasianer andalan (dok. Om Dhanang Dhave)"]

Bersama para kompasianer andalan (dok. Om Dhanang Dhave)

[/caption]

Awal 2014 membawa gairah menulis yang semakin menguat bagi saya. Tahun baru menghembuskan semangat baru. Postingan pertama 2014 tentang karnaval tahun baru di Jakarta mungkin biasa saja, namun bagi saya sangat bermakna, karena pertama kalinya melihat dan membidik Pak Jokowi di antara kerumunan warga. Acara Jakarta Night Carnival juga sejatinya bisa menjadi event untuk mendongkrak perkembangan pariwisata di Ibu Kota yang katanya akan didesain menjadi kota festival.

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Pak Gubernur melintas di acara Jakarta Night Carnival 2014 (dok. pribadi)"]

Pak Gubernur melintas di acara Jakarta Night Carnival 2014 (dok. pribadi)

[/caption]

Pada medio 2014, saya merasakan Kompasiana menjadi sangat crowded dan njelehi saat memasuki musim kampanye. Black campaign dan fitnah menyebar terbuka tanpa ada sumber yang jelas, user yang tak terverifikasi, maupun data yang valid. Mungkin ini risiko dari sebuah portal yang sifatnya user generated content dan sebagai salah satu indikasi Kompasiana sudah dijadikan rujukan dalam pembentukan opini publik.

Untungnya, kegundahan saya sedikit terobati. Bersama Om Dhanang Dhave , saya seolah mendapat teman untuk bercerita, mereportase, dan membagi foto tentang hal-hal anti-mainstream serta non politik.

Om Dhanang yang sedang sering ke Raja Ampat dan nge-trip ke luar negeri dengan rajin mengunggah postingan-postingan menarik, seakan menyemangati saya untuk terus mengulik lokasi-lokasi asik. Beberapa tulisan tentang wisata budaya seperti trip ala ndeso ke Borobudur, menikmati sunset di Candi Ijo, Candi Sambisari sebagai destinasi pilihan bagi flashpacker, belajar budaya toleransi dari komplek Prambanan, hingga wisata kuliner kupat tahu, saya tuliskan dan berharap menjadi penyeimbang Kompasiana yang terlalu sibuk membahas politik.

Sambil sesekali menulis tentang keelokan nusantara seperti saat mengeksplorasi indahnya alam Lombok, tak ketinggalan event budaya yang menarik seperti kirab budaya pada Festival Kesenian Yogyakarta, pertunjukan Gending Djaduk, Festival Lima Gunung, Bedog Art Festival, dan Pagelaran Kolosal Njemparing Rasa juga saya catatkan sebagai sebuah reportase kegiatan pariwisata sekaligus refleksi tentang kebudayaan kita.

[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Tanjung Aan, serpihan surga di Lombok Tengah (dok. pribadi)"]

Tanjung Aan, serpihan surga di Lombok Tengah (dok. pribadi)

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Penampilan salah satu kelompok seni di Kirab Seni FKY 26 (dok. pribadi)"]

Penampilan salah satu kelompok seni di Kirab Seni FKY 26 (dok. pribadi)

[/caption] Kadang saya menganalogikan Kompasiana seperti sebuah selasar bahkan layaknya warung kopi, siapa saja boleh datang dan berinteraksi di sini. Kompasiana juga mirip sebuah atap luas yang menjadi pesanggrahan bagi ribuan blogger yang silih berganti datang dan pergi. Semoga, kekuatan sharing tetap berdaya pada Kompasiana dalam membagikan tulisan berbobot dari para kompasianer dan blogger lainnya yang hari ini merayakan harinya. Dan energi connecting semakin ditonjolkan oleh portal kesayangan yang 22 Oktober lalu berulang tahun ke-6 ini.

Selamat ulang tahun Kompasiana, serta selamat merayakan harimu kompasianer dan blogger di seantero negeri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline