[caption id="attachment_347536" align="aligncenter" width="640" caption="Nelayan sedang bersiap sebelum menerima tantangan kelautan dan perikanan (dok. pribadi)"][/caption]
Musibah yang dialami Air Asia menjadikan Indonesia sebagai salah satu sorotan utama beberapa waktu terakhir ini. Di balik urusan penataan urusan transportasi, keselamatan penerbangan, dan proses evakuasi korban, saya terketuk saat menyaksikan bagaimana sumber informasi awal yang menjadi kunci pencarian pesawat yang hilang kontak di dekat Selat Karimata ini justru dari warga setempat.
Adalah Pak Rahmat, seorang nelayan yang mungkin tak pernah menyangka melalui Minggu pagi yang biasanya dihabiskan untuk mencari ikan, justru membawanya pada kabar besar. Meskipun menjadi titik awal penelusuran pencarian besar-besaran, kabar yang disampaikan ternyata tentang kekalutan, seperti kelabunya cuaca yang dialami Pak Rahmat saat melaut di Laut Jawa.
Beruntunglah, para komandan yang bertugas merespon kabar yang Pak Rahmat sampaikan. Sampai pada akhirnya, Pak Rahmat sang nelayan kemudian mendapatkan penghargaan karena berkontribusi dalam memberikan informasi awal proses pencarian pesawat Air Asia QZ 8501 (seperti diberitakan oleh Kompas.com).
Pak Rahmat, mungkin menjadi representasi kehidupan nelayan yang tersebar di bentangan pesisir Indonesia. Nelayan yang sangat akrab dengan cuaca yang tak menentu, ombak yang tenang namun kadang juga menjulang, dan fluktuasi hasil tangkapan yang tak terpernah bisa diprekdiksikan. Segala macam ketidakpastian yang dihadapi para nelayan menjadi langganan tantangan dalam kehidupan mereka. Puluhan tahun seakan tak terjamah oleh aneka kebijakan, namun selalu saja menjadi jargon saat musim politik berkumandang.
Optimisme para nelayan kemudian muncul tak terperi saat sang presiden baru dengan lantang menyebut kebangkitan maritim Indonesia;
“Sebagai negara maritim, samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita.Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, dan memunggungi selat dan teluk. Ini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga 'Jalesveva Jayamahe', di laut justru kita jaya, sebagai semboyan kita di masa lalu bisa kembali.”,
begitu kata Pak Presiden saat memberi pidato perdana saat dilantik di hadapan wakil rakyat.
Pidato yang seakan membius masyarakat, terutama nelayan, bahwa ada secercah harapan di antara pekatnya liku hidup yang dijalani selama bertarung di atas lautan. Kata-kata manis dari pemimpin bangsa yang tak hanya hangat mendengarkannya, tetapi juga butuh bukti pelaksanaan nyatanya.
Pekerjaan rumah mengurus sektor perikanan dan kelautan memang tidaklah sedikit. Persoalan yang berbelit-belit nan lusuh seolah menjadi momok tersendiri saat menangani negeri dengan luas laut sekitar 3.257.483 km² ini. Seperti beberapa masalah di sektor lain, old problem new challenge (masalah lama belum sempat diselesaikan, datang tantangan baru yang juga butuh penanganan) juga menghinggapi urusan kelautan.
Di antara jeritan para nelayan, publik kemudian dibuat terkejut saat sosok wanita ‘koboi’ hadir dan duduk sebagai pengurus kelautan dan perikanan. Susi Pudjiastuti namanya, seorang wanita tangguh yang kenyang getir manis hidup di laut, bahkan di udara. Wanita tanpa ijazah SMA yang dipertanyakan kemampuannya menjadi salah satu nahkoda dalam membawa kejayaan maritim Indonesia.
Nasib nelayan kemudian bergantung pada wanita ini. Cibiran tentang gaya nyentrik yang melekat padanya dijawab dengan gertakan atas praktek illegal fishing yang selama ini menggerogoti laut dan mengganggu perjuangan hidup para nelayan Indonesia.
[caption id="attachment_347543" align="aligncenter" width="640" caption="Nelayan tradisional sedang beraktivitas di atas lautnya (dok. pribadi)"]
[/caption]
Ingatan saya tentang kehidupan nelayan kemudian melayang kepada Pak Amir, seorang nelayan dari pesisir Fakfak-Papua Barat yang lahir, besar, dan hidup di laut. Suatu ketika, saya pernah mengikutinya saat sedang mencari ikan di sekitar pulau tempat beliau tinggal. Dengan bergegas, kemudi perahunya segera dirapatkan saat melihat sebuah kapal yang sudah dipastikan bukan milik penduduk kepulauan yang beliau tinggali. Dengan nada geram, Pak Amir memaksa kapal tersebut menarik jangkar dan mengemasi jaring yang telah terbentang.
Pak Amir, seakan menjadi “drone alami” mengawasi lautnya. Kemudian merangkap menjadi petugas patroli laut dadakan, bahkan sebelum pemerintah baru berjanji akan menggaungkan gairah kemaritiman.
[caption id="attachment_347538" align="aligncenter" width="640" caption="Pak Amir dan aktivitas patroli lautnya (dok. pribadi)"]
[/caption]
Tentu saja langkah penenggalaman kapal yang dilakukan pemerintah yang sekarang ramai diberitakan membuatnya senang. Tapi, langkah tersebut belumlah cukup menyelesaikan masalah kelautan dan perikanan yang jika dijabarkan mungkin lebih luas dari lautan yang negeri ini miliki.
Pak Amir bercerita, kehidupannya sebagai nelayan selama ini hanya begitu-begitu saja, minim perhatian, kalaupun sudah ada lirikan dari pemerintah, seketika ditinggalkan tanpa ada pendampingan yang berkelanjutan.
“Hasil laut di Fakfak ini tra terhitung lagi jumlahnya. Ko mau apa? Dari ikan teri, kerapu, lola, teripang, hiu, sampai ikan paus di sini ada semua.”, begitu ucapnya saat berkisah tentang kekayaan laut daerahnya.
Namun, usaha Pak Amir dan saudara-saudaranya sebagai nelayan selalu saja kalah saat berhadapan dengan berbagai mafia yang tercecer di setiap lini; baik mafia yang berseragam, tengkulak, hingga orang-orang yang tak kenal belas kasihan memainkan harga ikan di pasaran.
Ketidakpastian hidup yang dialami nelayan seakan tak habis saat mereka kembali dari laut. Di darat, ancaman abrasi telah menghadang. Konsep pemukiman dan penataan wilayah pesisir masih saja disamaratakan dengan pendekatan dataran landai perkotaan.
[caption id="attachment_347545" align="aligncenter" width="648" caption="Pemukiman di area pesisir (dok. pribadi)"]
[/caption]
Di sisi lain, saat musim angin kencang sudah datang, aktivitas melaut terhenti total, dan para nelayan belum bisa menggenapi kebutuhan hidupnya dari kegiatan lainnya. Ikan segar yang biasanya dinikmati telah diekspor ke luar negeri, hingga terpaksa membeli ikan kalengan untuk lauk sehari-hari. Di sinilah pemerintah sebaiknya juga turut hadir di sisi mereka. Bukankah kekayaan laut kita bukan hanya ikan? Masih mungkinkah jika para nelayan dibekali keahlian dan difasilitasi pemerintah dengan berbagai pengetahuan serta peralatan untuk memanfaatkan hasil laut dan pesisirnya yang mereka sendiri miliki?
[caption id="attachment_347540" align="aligncenter" width="640" caption="Nelayan dan ketidakpastian (dok. pribadi)"]
[/caption]
Deretan masalah yang menghadang kehidupan nelayan seakan terus-terusan silih berganti berdatangan. Nelayan yang seharusnya menjadi subyek saat kebijakan pemerintah dijalankan, justru tak jarang berubah menjadi komoditi. Hasil tangkapan mereka yang tak seberapa dibanding hasil tangkapan kapal besar (yang biasanya sudah dimanipulasi datanya) masih saja ditekan dengan berbagai ketidakpastian kebijakan yang dibelokan oleh oknum-oknum berseragam.
Semoga hati nelayan seluas laut yang diarungi mereka. Dan semoga kesabaran para nelayan masih sedalam samudera yang mengapit nusantara.
Saya jadi teringat semboyan ayah angkat saya dalam melakoni ketidakmenentuan kehidupan di laut yang sangat sederhana; “Laut adalah rumahku, angin adalah melodiku, gelombang adalah ayunanku”.
[caption id="attachment_347544" align="aligncenter" width="640" caption="Perahu nelayan yang sejenak disandarkan (dok. pribadi)"]
[/caption]
______________
Tulisan ini saya dedikasikan untuk ayah angkat saya, dan para nelayan di seluruh penjuru Nusantara, dalam rangka merayakan 5 tahun usia saya di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H