Kisah ini langsung diceritakan oleh Gus Mus --panggilan akrab KH. Mutofa Bisri- sebagai pelaku sejarah sepak bola antara pemuda NU (Nahdlatul Ulama') yang mashur dengan nama Pemuda Anshor melawan pemuda PKI dengan nama Pemuda Rakyat. Rifalitas pada zaman itu nampaknya tidak hanya dalam organisasi, namun sampai juga sampai ke lapangan hijau yakni sepak bola.
Penulis mengetahui kisah ini ketika sedang menjemput Gus Mus pengajian, sedangkan beliau sedang berbincang dan bercerita bersama teman satu almamater di Pesantren Krapyak Yogyakarta yang tinggalnya satu kamar dengan kakak beliau yakni al-Maghfurlah KH. Cholil Bisri. Namanya Kiai Zubairi asal Gresik. Di sela-sela perbincangan itu, nampak mereka berdua juga menelpon teman satu pesantren yang tinggal di Yogyakarta.
Dari perbincangan telpon itu nampaknya kiai asal Gresik ini sedang disindir karena tim asal Kota Gresik sepakbolanya kalah terus dan jarang menang. Hehe. Mengapa pembicaraan mereka kok tentang seputar sepakbola? Ya, ternyata mereka dulu adalah satu tim sepakbola di Pesantren Krapyak.
Antara Sepak Bola dan Adu Ilmu Kesaktian
Dalam kesempatan tersebut Gus Mus juga bercerita, bagaimana sepak bola zaman dulu yang banyak mengandalkan ilmu kanuragan (kesaktian) alias tenaga dalam untuk mencapai kemenangan. Salah satu yang sulit dilupakan adalah pertandingan sepak bola antara Pemuda Anshor melawan Pemuda Rakyat di Rembang.
Masih beliau ingat saat itu ada seseorang pemain dari daerah Sulang, Rembang bernama Mat Salim yang berposisi sebagai pemain belakang Pemuda Rakyat. Dia tidak pernah berlari namun cukup menatap mata dengan tajam pemain lawan dari kejauhan. Sampai ada kejadian pemuda NU menggiring bola tidak pernah bisa ke tengah lapangan. Hanya selalu bisa menggiring di pinggir lapangan, dan ketika mau menendang bukannya bola yang tendang namun cor beton pinggir lapangan.
Mengetahui kejadian itu, Mbah Kiai Wahab yang berada di luar lapangan memberi minum Gus Mus dengan minuman air putih yang telah didoakan(suwuk/ruqyah). Setelah diberi minum air itu akhirnya bola bisa digiring dengan normal sehingga beliau bisa memasukkan 6 gol ke gawang Pemuda Rakyat. Tentu saja tidak semudah itu memasukkan bola, karena jika kaki beradu kaki pemain lawan bisa terlihat dengan jelas asap mengepul di antara dua kaki.
"Nek gares ketemu gares iso mbeluk..." ujar beliau dengan Bahasa Jawa. Beliau tampak tersenyum dan geleng-geleng kepala mengingat kejadian itu.
Begitulah, kid zaman now seharusnya tahu bagaimana sejarah kid zaman old bermain sepakbola yang mungkin sekarang tidak akan melihat lagi kaki berasap terjadi lagi kecuali video tersebut diedit. Kalau sepakbola zaman sekarang masih bisa seperti itu, maka Banyawungi mungkin akan menang dalam Liga Indonesia karena kuatnya ilmu kanuragan di daerah tersebut.
Namun apa daya, di zaman now ilmu kanuragan tidak mempan di dunia sepakbola. Oleh karena itu negara dengan kanuragan tingkat tinggi sepertihalnya Afrika Selatan pun tetap tidak bisa juara Piala Dunia walaupun saat itu mereka menjadi tuan rumah. Padahal kalau ilmu kanuragan itu masih mempan, tentunya tinggal santet kipernya lawan dari jarak jauh. Menang deh...Hehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H