Berada di mihrab Masjid Nabawi adalah dambaan saya. Apalagi di raudlah, yakni antara mimbar dan kediaman Nabi Muhammad saw adalah dambaan setiap kaum muslimin ketika berada di Madinah. Raudlah sendiri nabi menyifatinya dengan kebun surga. Ukuranya tidak begitu besar dan lebar bagi ukuran jamaah yang berjumlah ribuan. Oleh para askar atau petugas keamanan, para jamaah diatur bergantian memasuki tempat ini.
Saat itu waktu maghrib. Saya berada di belakang Syaikh Ali Hudzaifi. Menurut informasi yang saya peroleh, beliau adalah imam tertua Masjid Nabawi. Masih keluarga atau senasab langsung dengan Sahabat Usman bin Affan r.hu. Suaranya terasa mantab, walaupun dari segi usia sudah tidak muda lagi. Jika di Masjidil Haram ikon imamnya adalah Syaikh Syudais, maka beliau menjadi ikon imam di Masjid Nabawi.
Saat para askar mendorong jamaah untuk bergantian, ternyata Syaikh Ali Khudzaifi tetap berada di mihrab masjid. Mungkin saja beliau menunggu sholat Isya' sekalian. Saat itu saya membaca peluang agar bisa menambah ilmu dan tidak diobrak askar. Saya juga berpikir agar tidak mengganggu ibadah saudara muslim yang lain. Caranya cepat-cepat mengambil kitab suci al-Qur'an dan masuk mihrab menghadap beliau.
Dengan memohon izin, saya ingin tashih bacaan al-Fatihah yang merupakan satu-satunya bacaan al-Qur'an wajib dalam sholat. Dan kabar baiknya beliau mengiyakan permohonan saya. Betapa girangnya hati saya saat itu walaupun ternyata bacaan fatihah saya masih banyak kekurangan dari ilmu tajwid maupun segi makharijul huruf. Terkadang menurut diri sendiri sih sudah benar, tetapi kalau digurukan begini (apalagi kepada imam masjid nabi) kan ada yang lebih meyakinkan. Hehe...
Benar saja, selang waktu bakda maghrib sampai adzan isya' saya hanya tashih surah al-fatihah saja dan tidak boleh pindah kepada bacaan yang lain. Tidak ada askar yang menyuruh saya pindah dari mihrab. Mungkin saja tidak berani dengan Syaikh Khudzaifi. Kalau dengan Khunaifi mungkin mereka berani, berhubung di dekatnya ada Imam Besar Masjid Nabawi, mereka hanya mengawasi dari kejauhan tanpa bicara. Saya yang sesekali bisa melirik mereka hanya senyum-senyum saja.
"Kali ini si 'kancil' benar-benar berhasil." Mungkin saja begitu pikir para askar itu....Haha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H