Lihat ke Halaman Asli

Arifin Muhammad Ade

Pemerhati Lingkungan

Kearifan Lokal, Jalan Terakhir Penyelamatan Lingkungan

Diperbarui: 24 Februari 2020   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi Sasi Masyarakat Maluku

Indonesia dengan belasan ribu pulau merupakan untaian alam dengan kekayaan hayati melimpah. Identitas kebudayaan nasional dari ratusan etnis dan bahasa memproduksi aneka pepatah, folklore, kearifan lokal, dan seterusnya, yang pasti semuanya berhubungan dengan aspek ekologi. Dalam kajian antropologi dikenal dengan konsep ekologi budaya (cultural ecology) yang menjadi darah atau inspirasi semangat pengetahuan lokal.

Saat ini, di tengah kondisi lingkungan yang semakin terdegradasi akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, hutan belantara porak-poranda digilas roda pembangunan hedonis di tengah kompetisi pasar global, ditambah lagi dengan ancaman pemanasan global (global warming) yang telah memicu perubahan iklim, serta bayang-bayang bencana alam yang terus meneror kehidupan umat manusia, memaksa manusia mencari solusi guna mengatasi persoalan yang tak berkesudahan tersebut.

Menyikapi beragam bencana alam yang rutin, maka paradigma berpasrah diri hingga anggapan bencana adalah bencana alam sebagai hal yang semestinya terjadi merupakan tindakan yang tidak produktif dalam pengelolaan lingkungan. Bencana rutin semestinya dipandang sebagai hasil dari perilaku kita sebagai individu-individu yang memberikan kontribusi beban dan merusak kondisi lingkungan hidup.

Sejalan dengan kondisi ekologi yang semakin terancam, kehadiran teknologi yang semakin canggih dengan segala kelebihannya, oleh para pakar diproyeksikan dapat menyelesaikan krisis ekologi justru malah sebaliknya. Ibarat panggang jauh dari api, kehadiran teknologi justru semakin memperburuk kondisi ekologi. Penggunaan teknologi modern tanpa pertimbangan etis dan minusnya kesadaran ekologi (ecological awarness) secara tidak langsung telah mengantarkan manusia pada kondisi ekologi yang kian darurat.

Sepintas, kemajuan teknologi yang kian pesat hingga mencapi titiknya pada revolusi industri 4.0 saat ini, merupakan proses panjang para ilmuwan untuk menciptakan perubahan serta membawakan kemudahan bagi umat manusia. Sejak dicetuskan revolusi industri di Inggris pada abad ke 18, dan penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1814, disitulah terjadi perubahan secara besar-besaran dalam kehidupan manusia di muka bumi.

Kemajuan teknologi yang kian pesat, secara tidak langsung telah membuat manusia terperangkap dalam kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi modern, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kekayaan khasanah pengetahuan lokal yang menjadi penciri sekaligus jati diri suatu komunitas masyarakat lambat laun mulai ditinggalkan. Khasanah pengetahuan lokal yang tercipta dari proses panjang berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan mengajarkan kita membangun hubungan yang harmonis dengan alam bahkan hilang dan tenggelam dalam derasnya perubahan zaman.

Sonny A. Keraf (2002), menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah mencakup semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupannya di dalam komunitas ekologis. Artinya, kearifan lokal yang tercermin dalam berbagai ritual dan tradisi yang menjadi kekayaan khasanah budaya masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, harusnya menjadi teknologi lokal yang mampu membawa kita keluar dari bayang-bayang bencana ekologi.

Keberadaan kearifan lokal dalam suatu komunitas masyarakat memiliki peran sangat penting karena kearifan lokal termasuk dalam pelindung kerusakan lingkungan alam (Kassa, 2011). Ketersediaan, kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam ditentukan oleh adanya faktor kearifan sebagai manifestasi akal masyarakat lokal yang tersembunyi dan diyakini sebagai sesuatu yang benar, dirasakan bersama, serta merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kehidupannya..

Lebih lanjut, Vandana Shiva (1993), menambahkan bahwa akar krisis ekologi terletak pada kelalaian pihak penguasa yang menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan. Komunitas lokal selalu dianak-tirikan dalam setiap proses pengambilan kebijakan, komunitas lokal tidak diberikan ruang untuk berekspresi dengan aspirasinya, bahkan selalu menjadi korban dalam setiap pembangunan.

Harus diakui bahwa masyarakat adat yang hidup puluhan ribu tahun merupakan ilmuwan-ilmuwan yang sangat mengetahui tentang alam lingkungan mereka. Sayangnya, sistem pengetahuan mereka belum banyak didokumentasikan, dipublikasikan, dan disosialisasikan, bahkan dalam percepatan pembangunan saat ini keberadaan masyarakat adat dan kearifan lokalnya cenderung tersingkirkan dan terpinggirkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline