"Bawang Merah Topo (Bawang Topo) merupakan variates lokal yang mempunyai nilai historis dan lekat dengan masyarakat Tidore. Bahkan bawang ini dijadikan simbol kebanggaan masyarakat setempat".
Ide untuk memulai tulisan ini hadir atas dasar keperihatinan penulis melihat keunggulan variates lokal yang selama ini menjadi identitas sebuah komunitas masyarakat tidak lagi eksis dan mulai tenggelam seiring dengan berjalannya waktu. Adalah Bawang Merah Topo (Allium cepa var. ascalonicum), salah satu dari sekian banyak variates lokal kota Tidore Kepulauan yang telah menjadi simbol kebanggaan masyarakat setempat, kini tak dapat lagi menunjukan eksistensinya.
Mengawali tulisan ini, penulis ingin mengajak kita semua (Pembaca) untuk sedikit mengenal tentang Topo, yang dari sanalah cikal bakal Bawang Topo dikenal. Topo adalah sebuah perkampungan yang terletak dibawak kaki gunung Kie Matubu, Kota Tidore Kepulauan. Secara geografis, kampung Topo berada pada ketinggian 500 MDPL merupakan salah satu perkampungan yang masih asri dan alami serta masyarakat setempat masih mempertahankan adat istiadat leluhurnya.
Dengan memiliki luas lahan produktif yang cukup, serta memiliki tanah yang subur untuk tanaman holtikultura, maka mayoritas penduduk setempat lebih memilih memanfaatkan lahan tersebut untuk aktifitas pertanian. Tidak mengherankan jika dari Topo lahirlah komoditas-komoditas unggulan dalam sektor pertanian yang mencuat hingga ke tingkat nasional. Bawang merah dari Topo atau dikenal masyarakat dengan "Bawang Topo" merupakan salah satu komoditas unggulan yang tumbuh dan berkembang disana.
Bawang Merah merupakan sayuran umbi yang cukup populer dikalangan masyarakat, selain nilai ekonomisnya yang tinggi, bawang merah juga berfungsi sebagai penyedap rasa dan dapat juga digunakan sebagai bahan obat tradisional atau bahan baku farmasi lainnya. Di Indonesia, tanaman bawang merah banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah yang beriklim kering dengan suhu agak panas dan cuaca cerah. Produksi bawang merah sampai saat ini memang belum optimal dan masih tercermin dalam keragaman cara budidaya tempat bawang merah diusahakan (Sartono dan Suwardi, 1996).
Pada tahun 2016, untuk menjaga dan melindungi variates lokal dalam hal ini Bawang Topo. Walikota Tidore Kepulauan Capt. H. Ali Ibrahim bersama Staf Ahli Walikota, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Tidore serta BP4K Kota Tidore melakukan pertemuan dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara.
Dalam pertemuan ini BPTP Maluku Utara menyampaikan hasil penelitian serta mendorong pemerintah Kota Tidore Kepulauan terkait variates Bawang Topo ke Pusat Perlindungan Variates Tanaman dan Perizinan Pertanian sebagai variates unggulan lokal Kota Tidore.
Langkah dan kebijakan yang diambil pemerintah Kota Tidore Kepulaun tersebut sebagai masyarakat tentunya kita sangat mengapresiasi dan mendukung. Mengingat, variates lokal tersebut selain memiliki nilai tambah bagi kehidupan petani di daerah dan dapat menunjang hasil pertanian serta mendukung peningkatan produk unggulan daerah. Variates lokal tersebut juga menjadi indentitas sebuah masyarakat yang perlu di pertahankan bahkan perlu dikembangkan.
Guna mempertahankan variates lokal, Bawang Topo yang merupakan indentitas masyarakat Tidore kini telah dibudidayakan diluar daerah Topo seperti di Subaim, Kabupaten Halmahera Timur.
Dengan dalil mempertahankan eksistensi Bawang Topo dan memenuhi perrmintaan pasar yang semakin meningkat, pemerintah mengambil kebijakan untuk menggenjot pertumbuhan produksi Bawang Topo dengan menerapkan sistem pertanian monokultur di Kecamatan Wasile. Mengingat, prospek Bawang Topo yang sangat menjanjikan untuk menembus pasar nasional.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Hidayat dkk, dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara, mengatakan bahwa Bawang Merah Topo merupakan variates bawang lokal yang mempunyai karakteristik spesifik lokasi.