Pada tahun 380, sebuah aliran kecil yang berasal dari pinggiran kekaisaran Romawi yang disebut dengan kristen menjadi agama resmi di kekaisaran dan merubah segalanya – dalam hal apa?
‘Kekristenan membawa intoleransi yang jauh lebih besar' (Peter Sarris is Professor of Late Antique, Medieval and Byzantine Studies at Trinity College, Cambridge and author of Justinian: Emperor, Soldier, Saint (Basic Books, 2023)
Sekitar tahun 312, kaisar Constantine mengadopsi kristen sebagai kultus pilihannya. Baru pada tahun 380 Thedosius 1 mendeklarasikan Kristen sebagai agama resmi kekaisaran Romawi dengan dikeluarkannya maklumat Taslonika. Perpaduan iman Kristen dan identitas politik romawi bacu mencapai puncaknya di konstantinopel antara abad keenam dan ketujuh.
Intolerasi dalam kehidupan keagamaan Kekaisaran Romawi menjadi semakin besar semenjak kristen menjadi agama resmi negara. Intolerasi terjadi terhadap apa yang disebut dengan aliran sesat (bidaah) dan penyimpangan terhadap ajaran kristen.
Kaisar Yustinianus contohnya, dia bahkan melarang untuk menjadi seorang pagan dan memberlakukan hukuman mati bagi mereka yang tertangkap melakukan konversi palsu. Dibawah pemerintahannya, tekanan terus-menerus dilakukan terhadap status hukum dan hak-hak para bidat, Orang Samaria, dan orang yahudi, dan untuk pertama kalinya laki-laki dipersekusi oleh negara karena tindakan homoseksual. Gerakan anti-Yahudi akan semakin intensif di bawah pemerintahan Heraclius, yang menggambarkan Kekaisaran Romawi Kristen sebagai 'Israel Baru'.
Pada saat yang sama, kekristenan sangat peduli terhadap kemiskinan dan orang yang membutuhkan dibandingkan idiologi Romawi sebelumnya. Biaya rumah sakit dan kesehatan yang digelontorkan oleh kaisar jauh lebih besar, undang-undang Yustinianus juga berisi keprihatinan terhadap kepentingan perempuan, anak, dan disabilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pada akhirnya kristenisasi di Kekaisaran Romawi menghasilkan budaya politik Romawi yang lebih kohesif dan terintegrasi, serta semakin ekslusif dan intoleran.
Secara sekilas, orang mungkin mengira Kekristenan akan membawa perubahan segera pada lanskap sosial Kekaisaran Romawi pada abad keempat. Mengingat pandangan rasul Paulus bahwa 'semua sama di dalam Kristus', hal itu adalah hal yang wajar. Tetapi kenyataannya tidak berjalan seperti itu.
Dalam hal perbudakan, misalnya, umat Kristen awal kurang tertarik untuk menghapusnya daripada melihat orang yang menjadi budak sebagai contoh pelayanan yang tekun yang seharusnya dicontoh oleh orang Kristen sebagai 'hamba Kristus'.
Di akhir Kekaisaran, hal-hal berubah - tetapi hanya sedikit. Uskup Kristen bekerja untuk membebaskan tawanan yang telah dijual menjadi budak oleh bajak laut dan barbar, namun rohaniwan Kristen terus memiliki budak.