Lihat ke Halaman Asli

Arifin Ilham

Mahasiswa

Diplomasi Kultural di Tingkat Sekolah Dasar: Membangun Kesadaran Multikultural melalui Pertukaran Budaya

Diperbarui: 24 Desember 2024   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Indonesia, negeri dengan 1.128 kelompok etnis, tengah menghadapi tantangan kompleks dalam membangun narasi kebudayaan nasional. Fragmentasi budaya yang diperparah dominasi Jawa-sentris dan urbanisasi telah mengikis kekayaan identitas kultural. Dalam konteks inilah, upaya kecil namun signifikan dilakukan melalui Pengabdian Pada Masyarakat (P2M) mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Pendidikan Indonesia di SDN Sagalaherang IV.

Kegiatan bertajuk "Mengenalkan Kedamaian Melalui Mempelajari Kebudayaan" ini menjadi miniatur strategi konservasi budaya yang hidup dan dinamis. Mahasiswa tidak sekadar memperkenalkan budaya Jepang, melainkan menciptakan ruang dialogis antarbudaya yang membuka kesadaran multikultural sejak dini.

Melalui serangkaian aktivitas interaktif—Nihon no Asobi (permainan tradisional), Ehon Yomikikase (bercerita bergambar), dan origami—para mahasiswa menghadirkan pengalaman langsung yang melampaui sekadar transfer pengetahuan. Siswa SDN Sagalaherang IV tidak sekadar menerima informasi, melainkan mengalami dan merasakan keberagaman budaya.

Pertukaran kultural ini memiliki signifikansi strategis. Ia mendobrak narasi tunggal yang selama ini mendominasi pemahaman kebangsaan.

Kepala Sekolah Nita Rosyana mencatat antusiasme siswa sebagai modal fundamental membangun kesadaran multikultural. "Anak-anak sangat senang dan termotivasi untuk terus belajar," ungkapnya. Rafka Alfatih, salah seorang siswa, bahkan berharap para mahasiswa dapat kembali berbagi pengetahuan.

Pendekatan ini sejalan dengan konsep living heritage dan living museum yang digagas para akademisi. Bukan sekadar memamerkan artefak statis, melainkan menghadirkan pengalaman hidup kebudayaan. Samsara Living Museum di Bali menjadi contoh nyata bagaimana pertukaran budaya dapat menciptakan ruang interaktif dan bermakna.

Dalam konteks lebih luas, kegiatan ini menawarkan solusi alternatif mengatasi krisis identitas nasional. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan telah menggariskan pentingnya melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kearifan lokal. Namun, implementasinya memerlukan pendekatan inovatif dan partisipatif.

Mahasiswa Kojima Nao dari program pertukaran menyadari bahwa diplomasi kultural bukanlah sekadar transfer pengetahuan, melainkan pembangunan mutual understanding. Energi dan semangat anak-anak menjadi modal sosial membangun jembatan antarbudaya.

Keberhasilan pendekatan ini bergantung pada tiga faktor kunci: partisipasi aktif komunitas lokal, narasi pemersatu yang kuat, dan sistem pengelolaan yang kolaboratif. SDN Sagalaherang IV telah membuktikan bahwa ruang pendidikan dapat menjadi laboratorium hidup keberagaman.

Tantangan sesungguhnya adalah mentransformasi model ini menjadi gerakan sistemik. Tidak cukup sekadar kegiatan insidental, melainkan membutuhkan komitmen berkelanjutan dari berbagai pihak—perguruan tinggi, sekolah, pemerintah, dan masyarakat.

Diplomasi kultural di tingkat sekolah dasar bukan sekadar momen sederhana berbagi pengetahuan. Ia adalah investasi kebangsaan untuk membangun generasi yang lebih inklusif, bermartabat, dan menghargai keberagaman. Melalui sentuhan kecil di SDN Sagalaherang IV, kita melihat bibit-bibit resolusi fragmentasi budaya yang selama ini membelah identitas nasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline